Ada beperapa hal yang menyebabkan rutinitas ibadah seseorang hanya dilihat dari sisi formalitas Ke-Agamaan saja, sehingga ibadah yang mereka lakukan menjadi “sebuah perlombaan” memburu gelar akademi agamis, perlombaan itu semakin marak apabila dilakukan pada saat hari besar Ke Agamaan, seperti bulan Ramadhan sekarang ini, esensi ke ikhlasanya hilang, mereka ber-ibadah karena berharap sesuatu yang notabene membuat Tuhan jenuh dengan segala tetek bengek permintaan “oknum manusia” yang selalu saja meminta tapi tidak pernah memberi ke Tuhan, selalu mengagungkanTuhan, untuk apa Tuhan di Agung-agungkan karena Dia sudah terlampau Maha Agung dari segalanya.
Selama ini kita selalu dinina bobokan oleh sorga dan pahala, tanpa mengetahui esensi out put social didalam sebuah Agama. Agama selama ini menjadi sebuah pelarian manusia akan rasa ketakutan, pengharapan yang berlebihan, kadang agama dijadikan ‘topeng’ untuk sebuah kepentingan pihak tertentu, baik politik,ekonomi dan sok-sial. Agama yang seharusnya bersifat Fleksibel, saat ini menjadi kaku, ada aturan main disana yang membuat manusia terbelenggu oleh system yang dibuat secara sepihak oleh agama. Sehingga kadang “toleransi” antar agama hilang, wajar jikalau banyak orang mendirikan Agama baru bahkan meniadakan Agama (Atheis),
Karena mereka sudah kehilangan kepercayaan terhadap Agama, tiap saat mereka selalu di cekoki doktrin-doktrin untuk saling membenci terhadap orang yang tidak se Agama dan tak ber- Agama. Sudah saatnya Agama lepas dari sekat-sekat yang membuat manusia tidak merasa terkekang proses kreatif berfikirnya, biarlah mereka ber ibadah dengan proses laku mereka sendiri, kita tidak punya hak mencampuri ibadah orang lain, karena ibadah adalah urusan manusia dan Tuhan. Biarlah ibadah dibuat santai, supaya ada rasa ketulusan disana dengan Tuhan,seperti apa yang dilakukan saudara kita Rabia’ah Al-Adawiyah seorang sufi wanita terkenal.
Pada suatu waktu di siang hari bolong, konon sufi wanita Rabia’ah Al-Adawiyah berlari-lari sambil membawa obor dan kendi di tangan. Menurut pengakuanya, ia ingin membakar sorga dan memadamkan api neraka. Apa pasal? Jawabnya, kedua ciptaan Tuhan itu, sorga dan neraka, telah banyak membuat orang “menuhankan” sorga dan neraka, mereka beribadah bukan karena Tuhan tapi karena sorga dan neraka, mereka kehilangan ke Ikhlasan total dalam beribadah.
Bagi seorang Rabia’ah beribadah berharap sorga atau karena takut api neraka adalah suatu pantangan. Ibadah semacam ini menurut mereka (kaum sufi) adalah ibadah para hamba sahaya (para budak) yang selalu takut akan murka tuanya, Ibadah kaum sufi bukan karena semua itu, tetapi semata-mata karena cintanya yang tulus dan ikhlas semata-mata karena Tuhan. Tidak ada batasan, lepas dari belenggu formalitas ke Agamaan.
Dalam doa mistisnya yang sangat terkenal Rabia’ah pernah berkata: Oh ‘ Tuhan, jikalau aku menyembah-MU karena takut api neraka, bakar aku didalamnya, jika aku menyembah-MU karena berharap sorga, campakan aku dari sana, Tapi aku menyembah-Mu karena engkau semata, janganlah Engkau sembunyikan keindahan-MU yang abadi. ( Kitab Tadzikarat al-awliya hal 51 ).
Cinta Tuhan seperti apa yang dilakukan Rabia’ah disebut “Disinterested love “ ( cinta yang tulus tanpa pamrih) dan cinta yang menyita seluruh perhatian ( All absorbing love).
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, ada beperapa criteria tanda dari beperapa orang yang memiliki cinta ilahi diatas.
Dia selalu rindu berjumpa Tuhan,Sang kekasih, melalui terbukanya tirai maupun secara langsung melalui pintu kematian. Seorang ,kata Ghozali, tak disebut cinta bila hatinya tak senang bertemu kekasihnya. Demi perjumpaan ini,orang sufi tidak pernah berat hati mengadapi maut. Kematian bagi mereka merupakan kunci dan pintu masuk menuju perjumpaan itu.
0 komentar:
Posting Komentar