Kitab-kitab Weda, Sastra, dan amanat para resi yang agung telah mengatakan dengan jelas bahwa Tuhan Yang Mahatinggi selalu ada dalam segala sesuatu. Naskah-naskah spiritual yang agung ini juga membahas dunia material, yaitu mengenai hubungan antara Tuhan yang diabdi, manusia yang mengabdi, dan "Sarana yang diperlukan untuk pengabdian" yaitu "alam dunia". Semua orang yang dibesarkan dalam tradisi Hindu pastilah telah mendengar ayat kitab Bhagawata mengenai Prahlada, seorang bakta yang hebat. Berdasarkan penghayatan spiritual yang dialaminya, ia mengatakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk, Tuhan tidak perlu dicari kemana-mana dan sesungguhnya berada sangat dekat dengan orang yang mencari-Nya.

"Ia di sini. Ia tidak ada di sana. buanglah kesangsian semacam itu ....
Kemanapun engkau mencari dan kemanapun engkau menengok.
Di sana....dan di sanalah....Ia berada!"

Tuhan digambarkan sebagai memiliki sifat-sifat tertentu, wujud tertentu dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan ini hanyalah benar sejauh khayal dan dugaan dapat digunakan untuk memperkirakan kebenaran, tetapi pernyataan tersebut bukanlah kebenaran asasi. Gambaran semacam itu benar sejauh berhubungan dengan pengertian duniawi yang praktis, tetapi tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan yang benar tentang Tuhan Yang Maha Besar. Tidak mungkinlah kita memahami kebesaran serta kesempurnaan Tuhan atau berbicara mengenai hal itu.

Meskipun demikian, para bakta dan peminat kehidupan rohani selama ini telah menggambarkan suatu wujud Ilahi sebagai dasar pemujaan mereka, masing-masing tergantung pada tahap kemajuan spiritualnya. Mereka memuja Tuhan seakan-akan Beliau berada di Ayodhya atau Dwaraka dan tidak berada di tempat lain. Mereka memuja Tuhan di tempat patung atau gambar tertentu dan tidak di tempat lainnya. Mereka memuja arca atau gambar itu sendiri sebagai Tuhan Yang Mahatinggi. Tentu saja hal itu tidak salah. Hanya saja para bakta itu haruslah tidak mengatakan bahwa keyakinannya sajalah yang benar, bahwa nama dan wujud Tuhan yang mereka puja adalah satu-satunya yang benar dan bahwa nama dan wujud lainnya tidak bernilai dan lebih rendah. Mereka harus menyadari bahwa nama dan wujud yang dihormati orang lain adalah sama berharganya dan sama sucinya bagi mereka seperti halnya nama dan wujud yang kau puja berharga dan suci bagimu.

Bila suatu wujud dipuja sebagai simbol Tuhan, wujud itu sungguh-sungguh menjadi simbol yang universal. Tetapi, bagaimana sekedar simbol dari yang universal dapat merupakan yang universal itu sendiri? Insyafilah selalu hal ini: kalian masing-masing harus mempunyai pandangan bahwa wujud-wujud yang dipuja sebagai lambang Tuhan, semuanya sama-sama sah dan benar. Jangan memberi peluang untuk rasa benci yang tidak beralasan dalam hidupmu. Tanpa pengertian ini tidak mungkinlah engkau menyadari Tuhan. Wujud-wujud yang dipuja sebagai simbol Tuhan ini semuanya sarat dengan prinsip Ilahi yang sukar dimengerti. Rasa lautan dapat dikecap secara lengkap dalam setiap tetesan airnya, tetapi ini tidak berarti bahwa tetesan air itu adalah samudra. Kita melihat tetesan air dan lautan sebagai dua hal yang terpisah, tetapi keduanya mempunyai sifat dan rasa yang sama. Demikian pula Tuhan, saksi abadi yang berada dalam segala sesuatu, tidak berbeda dari nama dan wujud material yang dikenakan-Nya, nama dan wujud yang dapat digunakan untuk menyadari-Nya, mereka bukanlah keberadaan yang terpisah. Mereka sama.

Kata-kata dan metode yang digunakan untuk melukiskan Tuhan, eksistensi murni yang memenuhi segala sesuatu dan mencakup segala sesuatu, tergantung pada prinsip-prinsip yang dianut oleh pembicara dan pada kebutuhan pendengarnya. Bila nama dan wujud Tuhan yang dipilih seorang bakta diubah menjadi yang tidak berwujud dan tanpa sifat, maka Ia disebut Brahmam 'Yang Mahabesar, Yang Mutlak'. Bila Yang Mahabesar dan Mutlak itu muncul dengan sifat dan wujud, mungkin Ia disebut sebagai Rama, Krishna, Wisnu, atau Siwa. Meskipun demikian, penganut semua agama sependapat: bila bakta mencapai persatuan mistik dengan Tuhan, semua perbedaan antara Tuhan dan bakta akan lenyap. Para yogi dan filsuf dari semua kepercayaan yakin bahwa penghayatan kemanunggalan dengan Tuhan ini dapat dicapai melalui kebhaktian yang mendalam. Meskipun demikian, walau sudah mencapai penghayatan persatuan ini, seorang bakta mungkin masih mempunyai suatu rasa keterpisahan dari Tuhan. Tetapi hal ini disebabkan oleh keinginan dan pilihan bakta itu sendiri, bukan merupakan keharusan dalam pengalaman tersebut.

Hanya bila nama serta rupa timbul maka alam ciptaan, Tuhan Sang Pencipta, dan manusia yang memuja Tuhan diberi nama berlainan. Bila tiada nama dan rupa, tidak akan ada keraguan dan perdebatan, tidak akan ada yang mempertanyakan apakah Tuhan itu pria, wanita, atau netral. Kemudian penggambaran Tuhan yang bagaimana pun juga akan tepat. Nama dan wujud yang mana saja dapat dikenakan pada sesuatu yang berada di luar jangkauan daya khayal manusia. Sesungguhnya Tuhan tidak mempunyai sifat atau wujud. Tuhan ada di mana-mana, Ia Maha Ada.

Bila engkau memuja kemahaadaan yang sulit dimengerti ini melalui wujud Tuhan yang mana pun juga dan kau anggap wujud itu memiliki sifat-sifat Ilahi, maka engkau akan menghayati-Nya melalui sadhana tersebut. Untuk menganugerahkan kebahagiaan penghayatan tersebut kepada bakta maka Tuhan Yang Maha Besar dan tidak dapat dilukiskan menjelma di dunia. Ia mengambil wujud manusia untuk menganugerahi semua makhluk hidup dengan suatu obyek pemujaan yang akan membimbing mereka menuju kebenaran. Ia turun ke dunia untuk memberi kesempatan agar semua makhluk dapat bersuka ria mengalami kehadiran-Nya. Dengan menganugerahkan pengalaman ini, sang Avatar membantu agar manusia dapat dengan mudah menghayati Tuhan sebagai penggerak batin (dalam segala makhluk), ada di mana-mana sepanjang waktu, memenuhi segala sesuatu, dan merupakan atma, kenyataan sejati segala sesuatu di dunia. Krishna menganugerahkan penampakan pada Arjuna bahwa seluruh jagat raya berada dalam diri-Nya. Sebelum menyaksikan sendiri bahwa seluruh alam semesta berada dalam badan Krishna, Arjuna pun tidak dapat memahami bahwa Krishna bersemayam dalam segala sesuatu.

Kasih, yang mengasihi, dan yang dikasihi (Tuhan), semuanya satu dan sama. Tanpa cinta, tidak akan ada si pencinta. Tanpa ada yang dicintai, cinta tidak akan berfungsi walaupun ada cinta dan pencintanya. Dalam ketiga hal ini, cinta adalah bahan utama. Segala sesuatu sarat dengan Tuhan. Tuhan ada dalam semuanya. Karena itu, tidak ada perbedaan dalam ketiga hal itu. Dalam ketiganya, kasih Ilahi berwujud sebagai saksi abadi. Karena itu, tidak dapatkah engkau menyadari bahwa segala sesuatu adalah perwujudan Tuhan? Tentu saja engkau dapat. Segala sesuatu diliputi kasih. Karena itu, tanpa ragu engkau dapat berkata bahwa Tuhan adalah perwujudan kasih. Di seluruh dunia, dalam semua makhluk hidup, kasih menyatakan dirinya dalam berbagai bentuk. Sifat kasih tidak dapat berubah walaupun dikenal orang dengan berbagai nama, tergantung pada sasarannya, seperti misalnya, kasih ibu, cinta romantis, bhakti kepada Tuhan, dan sebagainya. Apa pun bentuk cinta itu, hakikatnya tidak akan berubah. Berlandaskan pengetahuan dan pengalaman ini, kesimpulannya menjadi jelas: bahwa Yang Maha Besar adalah atma, diri yang sejati dalam segala ciptaan.

Filsafat yang mengajarkan pengetahuan tertinggi mengenai kesatuan ini dikenal sebagai adwaitha 'non dualisme'. Di lain pihak, dwaitha 'filsafat dualisme' mengajarkan prinsip kekasih dan yang dikasihi, jiwa dan Sang Pencipta. Visishtadwaitha 'filsafat non dualisme yang terbatas' menunjukkan ketiganya: cinta, pencinta, dan yang dicintai; alam dunia, jiwa, dan Tuhan. Sekalipun demikian, ketiga jalan spiritual ini sesungguhnya satu. Bayi berubah menjadi siswa, siswa itu kemudian menjadi orang yang berumah tangga. Meskipun demikian ketiganya adalah orang yang sama yang tingkah laku dan minatnya berubah dalam berbagai hal. Dari susu timbullah mentega dan air dadih. Susu yang mengandung semuanya adalah adwaitha 'non dualisme'. Mentega yang mengandung air dadih adalah dwaitha 'dualisme'. Bila mentega itu dipisahkan, air dadih yang tersisa adalah visishtadwaitha 'non dualisme yang terbatas'. Warna semua makanan yang telah disebutkan tadi, yang selalu sama walaupun cita rasanya berbeda, melambangkan Yang Mutlak, Tuhan yang tidak berwujud.