Sejak kecil, paling tidak sejak aku menyadari sulitnya menjalani kehidupan, sering mendengar bahwa untuk menjalani kehidupan tidaklah mudah. Seorang teman pernah bilang pada orang tuanya dalam salah satu suratnya, bahwa untuk mati pun orang harus bayar. Apa lagi untuk hidup layak. Atau bahkah untuk sekedar bisa hidup sendiri tanpa gangguan. Kalau perlu kita harus menjual atau menggadaikan apa yang kita miliki, bahkan bila perlu milik kita yang paling berharga. Harga diri. Terlebih lagi bila ada keinginan untuk hidup di antara orang-orang, yang tentunya memiliki kepentingan dan cara pandang yang berbeda. Termasuk kepentingan dan cara mereka memandang diri kita.Betapa sulit untuk mengukur dan mengira-ngira apa yang harus kita lakukan, melakukan apa yang berkenan dalam rasa mereka. Jangankan melakukan kejahatan atau kecurangan, melakukan apa yang kita anggap baik pun, tidak jarang kita dituduh melakukan kejahatan. Bahkan tidak melakukan apa pun tidak jarang menjadi bahan gunjingna yang tidak enak untuk didengar. Tidak jarang di antara mereka yang berlaku demikian itu adalah orang yang disebut sebagai orang baik-baik atau yang merasa dirinya baik, tidak pernah melakukan kecurangan. Tak ada ma’af bagi kita.Apa pun yang kita katakan, sikap apa pun yang kita tunjukkan, bahkan permintaan ma’af layaknya seorang ‘abid pada tuannya atau seorang rakyat jelata pada seorang Maha Raja, belum tentu permohonan ma’af kita didengarnya.

Saya bersyukur bahwa Tuhan tidak pernah berwujud manusia. Yang ada hanyalah manusia-manusia yang menjadi tuhan: Tuhan Yang Maha Tidak Pema’af dan hanya ingin dima’afkan, Yang Maha Tidak Penyayang dan hanya ingin disayangi, Tuhan Yang Maha Tidak Mau Tahu dan hanya ingin diketahui. Ada satu sifat yang sama antara Manusia Tuhan dengan Tuhan yang ada di garis penantian, yaitu keduanya mengaku dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa pemiliki Alam Raya dan Penentu Nasib Manusia. Entah, seingatku Tuhan yang ada di sana kadang masih memberi kesempatan pada kita untuk berencana dan berusaha. Bila kita berbuat salah masih ada ma’af tanpa batas.
Namun kawan, biarlah. Sementara manusia-tuhan itu mengasihani dirinya sendiri, bukankah masih ada matahari yang kalau pun kadang kita mengutuk terik panasnya, ia tidak pernah surut untuk memafkan dan tetap memberikan cahayanya tatkala manusia terbangun dari peraduannya.Tuhan yang ada jauh dalam lubuk hati kita memberi kita sepasang kaki supaya bisa berpijak di atas bumi ini. Dihamparkannya bumi supaya manusia mudah berjalan di atasnya. Sementara, manusia-uhan tidak pernah segan untuk mematahkan kedua kaki manusia, bahkan kalau perlu direngutnya bumi tepat kita berpijak.Kawan, beberapa tahun yang lalu, kita gali lubang-lubang kecil untuk menyusun batu-batu kecil, bagi pondasi bumi tempat kita berpijak. Dengan peluh dan air mata, kita tegakkan dingding, kita rapatkan atap, dengan harapan kita bisa berteduh, sekedar untuk melupakan tapak masa lalu yang kelam. Tak terlalu besar, tapi cukup untuk sekedar membentang sayap, menarik garis antar ujung dunia. Menyalakan lilin kecil, pelita untuk menerangi lorong hati kita yang gelap. Namun, kini, tempat kita bercengkrama, merajut benang kasih sayang Tuhan diantara kita, tinggal puing berserakan. Tangan-tangan raksasa manusia-tuhan telah merengutnya dari sudut-sudut nurani kita. Kini kita terdampar di jangkauan masa lalu yang kelam dan pantai masa depan yang tidak pasti. Namun, kawan! Bukankah kita pernah belajar dan menempa diri, walau sesat. Dan, walau tak begitu kuat, bukankah masih ada benang-benang kasih Ilahi yang kita rajut, yang menghubungkan sudut-sudut nurani kita. Kita gali kembali lubang, kita telusuri gua, di bawah atap harapan dan keyakinan. Kita bangun dunia kita, di batas penantian, di luar jangkauan kuku berdarah manusia-tuhan. Kita relakan masa lalu kita, asal jangan kita gadaikan dan jual milik kita yang paling berharga, yaitu keyakinan kita.