Siapapun di dunia ini hanya akan menjaga dengan sungguh-sungguh sesuatu yang dianggapnya berharga, kemudian membuang sesuatu yang dianggap tidak berharga. Semakin dianggap bernilai dan semakin berharga suatu benda, maka akan lebih habis-habisan pula dalam dijaganya.

Ada yang sibuk menjaga harta karena dia menganggap hartanyalah yang paling bernilai. Ada yang sibuk menjaga wajah agar awet muda karena awet muda itulah yang dianggap paling bernilai. Ada juga yang mati-matian menjaga kedudukan dan jabatan karena kedudukan dan jabatan itulah yang dianggap membuat berharga. Tapi ada pula orang yang mati-matian menjaga hidayah dan taufik dari-Nya karena dia yakin bahwa hidup tak akan selamat mencapai akhirat kecuali dengan hidayah dan taufik dari Allah swt yang Maha Agung. Inilah sebenarnya harta benda paling mahal yang perlu kita jaga mati-matian. Betapa nikmat iman yang bersemayam di dalam qalbu melampaui apapun yang bernilai di dunia ini.

Karena sudah sepantas dalam mencari apapun di dunia ini kita tetap dalam rambu-rambu supaya hidayah Allah swt itu tidak hilang. Misalnya ketika mencari uang untuk nafkah keluarga kita sibuk dengan berkuah peluh bermandi keringat mencari tapi tetap berupaya dengan sekuat tenaga agar dalam mencari uang ini, hidayah Allah swt sebagai sebuah barang berharga tak hilang dan taufik tak sampai sirna. Begitupula ketika menuntut ilmu kita kejar ilmu setinggi-tinggi tetapi tetap dalam rambu-rambu supaya hidayah Allah swt tak sampai sirna. Bahkan, seharusnya acara mencari nafkah, mencari ilmu atau mencari dunia bisa lebih mendekatkan diri dengan sumber hidayah dari Allah swt. Ada sebuah doa yang Allah swt ajarkan kepada kita melalui firman-Nya “Robbanaa laa tuziquluu banaa ba’da ijhhadaitana wahablana milladunkarahmatan innaka antal wahhaab…” (Ya Tuhan kami jangan jadikan hati ini condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk dan karuniakan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Karunia). Demikianlah Allah Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Pemberi Karunia Hidayah mengajarkan kepada kita agar senantiasa bermohon kepada-Nya sehingga selalu tertuntun dengan cahaya hidayah dari-Nya. Tidak bisa tidak, doa inilah yang harus senantiasa kita panjatkan di malam-malam hening kita di tiap getar-getar doa yang meluncur dari bibir kita. Suatu waktu ada seorang wanita yang belum beberapa lama masuk Islam . Dan ternyata, keluarganya tak bisa menerima kenyataan ini sehingga sang ibu mengusirnya dari rumah. Kejadian ketika menjelang jam lima sore telepon berdering suara diujung sana berbicara dengan terbata-bata “Aa aa tolong a tolong…!”. Belum selesai berbicara, hubungan telepon langsung terputus. Dari nada tersebut, jelas menggambarkan satu keadaan darurat sehingga jelas-jelas si penelpon sedang dalam kondisi membutuhkan bantuan. Sayangnya, tak diketahui dimana menelponnya? Keadaan bagaimana? Cuma yang diketahui dengan pasti adalah bahwa Allah swt Maha Melihat, Maha Menyaksikan segala kejadian dan Mahakokoh dalam melindungi siapapun. Tidak akan terjadi musibah “illabiidznillah” tanpa ijin Allah, dan tak akan teraniaya kecuali dengan ijin Allah pula.

Usai hubungan telepon terputus saya berpikir apa yang bisa dilakukan!? Karena yang terbayang di benak saat itu adalah justru si anak dianiaya telepon direbut atau kabel diputuskan. Terbayang pula andai si anak ini dipaksa kembali ke agama semula oleh orang tua atau minimal dianiaya. Tapi sejenak kemudian ingat pula akan Kemahakuasaan Allah swt bahwa hanya dengan karunia-Nya sajalah hidayah bisa sampai kepada si anak itu. Betapapun orang memaksa utk melepas hidayah keyakinan di jalan-Nya tapi kalau Allah Azza wa Jalla Dzat yang Mahakuasa telah menghunjamkan dalam-dalam hidayah itu di qalbu kita, lihat bagaimana Bilal bin Rabbah sahabat Rasulullah saw yang mulia dijemur diterik matahari dibawah beralas pasir membara, badan pun dihimpit batu yang berat tapi bibir yang mulia tetap mengucapkan “Allah Allah Allah”. Demikianlah jikalau Allah telah menghunjamkan karunia hidayah, tidak akan ada seorangpun yangg bisa melepaskannya. Begitupun dengan anak dalam kejadian ini, setelah telepon diputus oleh ibu ternyata benar ia dianiaya dijambak dan dirobek-robek jilbabnya. Kemudian dengan izin Allah swt dia dapat kembali menutup aurat, dan dengan hati pilu si anak pun ikut bersama bibinya. Hanya Allah swt-lah yang melepaskan dari tiap kesempitan.

Mudah-mudahan kejadian diatas dapat menambah keyakinan akan kokohnya perlindungan Allah Azza wa Jalla. Betapapun tak ada yang menolong, yakinlah bahwa Allah swt-lah satu-satunya penolong. Begitupun ketika ada yang menganiaya, maka si penganiaya pun adalah makhluk dalam genggaman Allah swt. Tidak ada satupun ayunan dan pukulan tangan atau bahkan tendangan kaki kecuali tenaga karunia dari Allah swt. Tidak ada satupun darah yang menetes kecuali dengan izin Allah swt. Karena mudah-mudahan saja apa yang menimpa si anak dalam peristiwa diatas adalah salah satu cara bagaimana Allah swt menanamkan keyakinan kepadanya. Karena, walaupun tak ada yang menolong yakinlah bahwa Allah swt-lah yang Mahakuasa memberikan pertolongan. Memang, terkadang kita ditingkatkan keyakinan dinaikan peringkat kedudukannya disisi Allah swt ialah dengan diuji menggunakan bala dan kesempitan terlebih dulu. Allah swt dalam hal ini berfirman:

“Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab?” (QS. Az Zumar (39): 37) .

“Dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tak ada yang dapat menujukinya”. (QS. Ar Ra’du (13): 33). “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi (18): 17)

“Sesungguh Allah membiarkan sesat siapa yang dikehendaki-Nya dan dipimpin-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Fathir (35): 8).

Imam Ibnu Athoillah dalam kitab yang terkenal Al Hikam memaparkan “Nur iman keyakinan dan zikir adalah kendaraan yang dapat mengantarkan hati manusia ke hadirat Allah swt serta menerima segala rahasia daripada-Nya. Nur itu sebagai tentara yang membantu hati sebagaimana gelap itu tentara yang membantu hawa nafsu. Maka apabila Allah swt akan menolong seorang hamba-Nya, dibantu dengan tentara nur Illahi dan dihentikan bantuan kegelapan dan kepalsuan”. Nur cahaya terang berupa tauhid iman dan keyakinan itu sebagai tentara pembela pembantu hati, sebaliknya kegelapan syirik dan ragu itu sebagai tentara pembantu hawa nafsu sedang perang yang terjadi antara kedua tak kunjung berhenti dan selalu menang dan kalah. Lebih lanjut beliau berujar “Nur itulah yang menerangi dan bashirah itulah yang menentukan hukum dan hati yang melaksanakan atau meninggalkan nur itulah yang menerangi baik dan buruk lalu dgn matahati ditetapkan hukum dan setelah itu maka matahati yang melaksanakan atau menggagalkannya.”. Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan kepada kita penuntun yang membawa cahaya hidayah sehingga menjadi terang jalan hidup ini, subhanallah.

NUANSA ILAHI

Waktu Adalah Kehidupan


Tidak yang lebih berharga dalam kehidupan ini setelah iman selain "waktu". Waktu adalah benda yang paling berharga dalam kehidupan seorang Muslim. Ia tidak dapat ditukar oleh apapun. Ia juga tidak dapat kembali jika sudah pergi. Sungguh sangat merugi orang yang menyia-nyiakan waktunya.

Saking mahalnya, Allah (sampai) bersumpah: "Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang yang beriman, beramal saleh, (saling) nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati dalam (menapaki) kesabaran" (Qs. Al-'Ashr [103]: 1-3).

Dalam Islam, waktu bukan hanya sekadar lebih berharga dari pada emas. Atau seperti pepatah Inggris yang menyatakan time is money. Lebih dari itu, waktu dalam Islam adalah "kehidupan", al-waqtu huwa al-hayah, demikian kata as-Syahid Hasan Al-Banna. Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan umatnya agar memanfaatkan waktu yang tersisa dengan lima hal.

Beliau bersabda: "Manfaatkanlah (oleh kalian) lima hal, sebelum datang lima hal: masa mudamu sebelum tiba masa tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang waktu fakirmu, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu dan hidupmu sebelum datang kematianmu" (HR. Hakim. Sanadnya shahih dari Ibnu Abbas).

Pertama, masa muda. Masa muda adalah masa keemasan seorang manusia. Ia merupakan masa ideal untuk melakukan apa saja: mengukir prestasi dan menggapai cita-cita. Bahkan, masa muda adalah masa yang harus "dipertanggungjawabkan" di hadapan Allah.

Hal ini dijelaskan oleh Nabi saw: "Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut" (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani).

Bayangkan, setelah Allah mempertanyakan "umur", Ia mempertanyakan "masa muda" secara khusus. Dalam Islam, masa muda adalah bagian dari "umur". Ia dianggap sebagai masa yang dinamis, energik, cekatan dan kuat, karena ia merupakan "kekuatan" di antara dua kelemahan: kelemahan anak-anak dan kelemahan masa tua.

Hal ini dijelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya: "Allah, Dia-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban..." (Qs. Ar-Rum [30]: 54).

Oleh karenanya, Islam memiliki perhatian khusus kepada para pemuda. "Suatu ketika, khalifah Umar radhiyallahu 'anhu duduk dengan para sahabatnya. Ia berkata kepada mereka: "Berangan-anganlah kalian!" Salah seorang dari mereka berkata: "Aku berangan-angan, seandainya rumah ini dipenuhi oleh emas untuk aku infakkan di jalan Allah." Umar lalu berkata: "Berangan-anganlah (lagi) kalian!" Salah seorang lagi berkata: "Aku berangan-angan sekiranya rumah ini dipenuhi dengan permata agar aku infakkan di jalan Allah dan bersedekah dengannya." Lalu Umar berkata lagi: "Berangan-anganlah (lagi) kalian!" Mereka lalu berkata: "Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami katakan wahai Amirul mukminin?" Umar berkata: "Aku justeru berangan-angan agar ada orang-orang seperti Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah, Mu'adz ibn Jabal dan Salim budak Abu Hudzaifah, agar aku dapat meninggikan "kalimat Allah" dengan bantuan mereka."

Bayangkan, Umar malah menginginkan para pemuda. Bukankah Mu'adz ibn Jabal seorang faqih yang diutus oleh Rasul ke Yaman? Ketika itu usianya masih muda. Begitu juga dengan Salim: ia termasuk salah seorang perawi hadits. Usianya juga masih muda. Dalam sejarah Islam juga dikenal Muhammad Al-Fatih, pembebas kota Konstantinopel. Saat itu usianya tidak lebih dari 22 tahun.

Tidakkah kita lihat seorang Usamah ibn Zaid pergi ke medan perang ketika usianya masih 15 tahun. Padahal ketika usinya 14 tahun semangat jihadnya sudah berapi-api: ia ingin cepat berada di shaf para mujahid Allah. Namun Nabi saw melarangnya, karena masih teramat muda. Ia juga pernah menjadi pemimpin pasukan Rasul, padahal saat itu para sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ada. Namun Rasul saw mempercayakan kepadanya.

Adalah hal yang ironis jika masa muda dihabiskan untuk "berfoya-foya". Apalagi dihabiskan untuk melakukan hal-hal yang tidak produktif. Dan, na'udzubillah, jika sampai melakukan tindak kriminal yang tidak diridhai oleh Allah, seperti mengkonsumsi NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif) dan hobi "mencekek leher botol" alias mabuk-mabukan. Ini sama artinya menghancurkan umat. Tidak dapat dibayangkan jika para pemuda justru tidak produktif. Apa yang akan dipersembahkan untuk Islam?

Kedua, masa sehat. Pepatah Arab menyatakan: "As-Shihhatu tajun 'ala ru'us al-asiha' laa yaraaha illa al-mardha" (Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat dan tidak ada yang dapat melihatnya kecuali orang yang sakit). Itulah kesehatan. Kita terkadang lupa akan arti dan makna kesehatan, kecuali setelah kesehatan itu hilang dari kita. Ketika "sakit" datang menggantikannya, barulah kita sadar bahwa kesehatan itu mahal. Masa sehat sebaiknya kita gunakan untuk beramal saleh: membantu orang tua, menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, sebelum kita kita tidak bisa berbuat banyak. Kalau masa sakit sudah tiba, kita tidak akan pernah sempurna melakukan apapun: ibadah terganggu, pekerjaan terbengkalai, semangat menurun, dsb. Maka manfaatkanlah "masa sehat" ini dengan sebaik-baiknya.

Ketiga, masa kaya. Kekayaan adalah "titipan Allah". Maka, ia tidak layak untuk disombongkan dan dibanggakan. Selagai masih ada waktu dan kesempatan, pergunakanlah kekayaan itu untuk berbakti kepada Allah: membiayai edukasi anak, berinfak di jalan Allah (membangun masjid, rumah sakit, madrasah, dsb), membantu fakir miskin dan anak-anak terlantar, membiayai panti asuhan, dan lain-lain. Karena, jika sudah jatuh miskin, kesempatan untuk beramal saleh pun sirna. Maka, segeralah nafkahkan harta yang ada, sebelum semuanya sia-sia. Utsman ibn Affan adalah contoh ideal dalam berinfak. Ia membeli sumur Maimunah untuk kepentingan kaum Muslimin. Begitu juga dengan Abdurrahman ibn 'Auf. Ia adalah contoh konglomerat yang dermawan: orang kaya tapi takut harta. Lain lagi dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq: ia meninggalkan "seonggok batu" untuk keluarganya. Ia menyisakan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya. Beliau bahkan berlomba dengan Umar ibn Khaththab. Akhirnya ia menang, karena Umar ibn Khaththab menafkahkan setengah dari hartanya, sedangkan ia menafkahkan seluruh hartnya di jalan Allah.

Keempat, masa luang. Waktu luang adalah kesempatan emas untuk menginventarisir kebajikan. Waktu luang ini akan sia-sia jika tidak dikontrol. Ia akan terbuang begitu saja jika tidak langsung dimanfaatkan. Oleh sebab itu makanya Nabi saw mengingatkan: "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang (kekosongan)" (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas). Waktu luang adalah "kekosongan": kosong dari kegiatan yang positif. Jangan biarkan waktu itu kosong melompong dan berlalu tanpa makna. Tidakkah kita ingin waktu luang itu kita isi dengan membaca Alquran, shalat Dhuha, shalat Witir, shalat Tahajjud, dsb. Janganlah waktu luang itu dikhianati dengan "senda gurau" yang tak bermakna. Karena jumlah waktu itu sama di mana saja, 24 jam.
Bagi tigalah ia: sebagian untuk kesehatan (istirahat, olah-raga, bercanda seperlunya), sebagian lagi untuk jasmani (makan dan minum) dan sepertiga terakhir untuk Allah.

Imam Ibnu Jarir al-Thabari menurut al-Khathib al-Baghadadi dari al-Samsiy, setiap harinya mampu menulis sekitar empat puluh lembar. Jangan berleha-leha dalam memburu kebaikan. Imporlah segala jenis kebaikan, lalu eksporlah ia ke akhirat sana. Al-Tu'adatu fi kulli syain khairun illa fi a'mal al-akhirah (Berlaku santai dalam setiap sesuatu itu baik, kecuali dalam amal akhirat), kata Umar ibn Khaththab.

Imam Nawawi ra memberikan nasehat yang sangat berharga: "Hendaklah bagi seorang penuntut ilmu untuk mengumpulkan ilmu di waktu luang dan semangat yang menggebu-gebu, masa muda dan ketika tubuh masih kuat, ketika keinginan masih menggunung dan kesibukan masih sedikit sebelum tiba hal-hal yang tanpa makna".

Kelima, hidup. Kesempatan hidup hanya sekali. Umur begitu singkat. Kita mengira umur itu begitu panjang. Padahal ia hanya terdiri dari tiga helaan nafas: nafas yang lalu, yang sudah kita hempaskan; nafas yang sedang kita hirup dan akan kita hembuskan; dan terakhir nafas yang akan datang. Kita tidak tahu apakah nafas yang akan datang itu nafas kita yang terakhir atau tidak.

Nafas-nafas itu begitu cepat berlalu. Maka sangat merugi kalau nafas-nafas itu kita biarkan terhambur tanpa arti. Padahal dalam satu menit kita bisa membaca surat Al-Fatihan dan surat Al-Ikhlas. Kita juga bisa berdzikir: mengucapkan subhanallah, Al-hamdulillah dan Allahu Akbar, dsb.

Kita hidup di dunia laksana seorang musafir. Tidak ada yang berharga bagi seoang musafir selain "bekal". Maka sejatinya, dunia ini adalah "pohon yang rindang", tempat berteduh sang musafir. Jika ia tertipu dengan indahnya pohon tempatnya berteduh, ia tidak akan sampai pada tujuan. Mau tidak mau, kita semua akan menuju kepada pintu kematian.

Maka, sebelum pergi ke sana, kita berusaha untuk memanfaatkan hidup ini dengan sebaik-baiknya. Nilai seorang Muslim bukan dinilai dari panjang pendeknya umur yang diberikan oleh Allah. Tapi akan dinilai dari apa yang diperbuatnya untuk Allah, untuk Islam. Umur yang panjang bukan jaminan kebaikan. Bisa jadi umur yang panjang malah semakin membuka pintu-pintu maksiat. Bisa jadi umur yang singkat, jika di-manage dengan baik, malah menjadi sangat bermanfaat.

"Khairu al-naasi man thala 'umruhu wa hasuna 'amaluhu, wa syarr al-nasi man thala 'umruhu wa sa’a 'amaluhu" (Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya dan baik amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang umurnya panjang namun jelek amalnya) (HR. Ahmad dan al-Turmudzi dari Abu Bakrah).

Sebelum maut menjelang, mari kita hiasi hidup kita dengan amal saleh. Mudah-mudahan usia yang tersisa benar-benar menjadi lebih bermakan. Sehingga kita termasuk hamba Allah yang menghargai nikmat waktu yang diberikan. Ingatlah! Waktu adalah kehidupan.

Allah berifrman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. ( QS 30 : 21 )

Melalui firmanNya ini, Allah ingin menegaskan kepada kita tentang pasangan hidup kita, dengan menyebut kata isteri, yang dalam teks Bahasa Arabnya disebut dengan kata azwaja yang lazimnya diterjemahkan dengan pasangan. Penggunaan kata isteri, yang menunjukkan gender atau jenis kelamin perempuan, jika dipahami secara harafiah seakan-akan ayat ini terlalu mengistimewakan kaum lelaki, dan menjadikan kaum perempuan sebagai pelengkap belaka.

Namun demikian, jika kita runut dari mula pertama Allah menciptakan manusia, maka Allah menggunakan dua istilah. Yang pertama Allah menciptakan al-basyar, yakni manusia jasad, yang terbuat dari tanah, atau dari saripati yang terbuat dari tanah, atau kadang-kadang juga disebut sebagai air yang hina yang dipancarkan dari tulang sulbi kaum lelaki. Kemudian Allah menegaskan bahwa setelah sempurna bentuk jasmaniahnya lalu Allah meniupkan ruhNya pada al-basyar, sehingga ketika itu terjadilah perkawinan atau pernikahan antara ruhNya dengan al-basyar, sehingga secara hakikat, kaum lelaki di sini adalah ruh yang berasal dari Allah, dan kaum perempuan adalah al-basyar yaitu jasad yang diciptakan oleh Allah dari tanah atau unsur-unsur tanah.

Dengan pemahaman hakikat yang demikian, maka ayat tersebut menjadi lebih universal dan dapat diterima, baik oleh manusia yang bergender lelaki maupun perempuan, karena setiap diri – lelaki dan perempuan – sejatinya memang terdiri dari sebuah pasangan antara ruh – lelaki – dan al-basyar – perempuan – yang berpadu dalam satu diri. Maka, Allah menyebut azwaja yang berarti pasangan atau isteri dalam ayat tadi dengan kata kholaqo yang berarti diciptakan, karena memang dari sejak awalnya keberadaan jasad manusia memang berasal dari proses penciptaan Allah secara bertahap.

Sehingga dapatlah dipahami bahwa jasad atau jasmani manusia yang secara hakikat digolongkan sebagai perempuan, adalah isteri bagi ruh. Kadang-kadang – selain istilah isteri atau pasangan – Allah juga menyebut jasad itu dengan istilah ladang untuk menunjukkan tempat para ruh – yaitu lelaki – bercocok tanam, memanfaatkannya untuk menghasilkan sesuatu dan untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Kadang-kadang, Allah menyebut isteri atau pasangan itu sebagai pakaian untuk menegaskan betapa pentingnya keberadaan pasangan itu dalam pergaulan hidup kolektif.

Maka, kiranya dapat dipahami bahwa isteri atau pasangan, yang kadang-kadang disebut sebagai ladang dan pakaian itu memang sengaja diciptakan oleh Allah sebagai kelengkapan hidup khalifahNya. Jadi, sesungguhnya khalifah yang dimaksud oleh Allah dalam konteks penciptaan manusia adalah ruh itu. Tetapi, ruh sendirian tanpa pasangan yang berupa jasad atau jasmani, dia tidak akan dapat mengolah bumi Tuhan yang diamanatkan kepadanya. Harus ada pasangan, dan dipilihnya tanah yang berasal dari bumi itu sebagai bahan utama diciptakannya jasad. Allah bermaksud, supaya ada rasa kedekatan antara jasad manusia dengan bumi Tuhan yang hendak diolah oleh khalifah Tuhan.

Tetapi secara eksplisit, Allah menyebut tujuan penciptaan pasangan yang disebut isteri itu supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Yakni supaya ruh menjadi menyukai keberadaan jasad dan tenteram berada di dalamnya. Tetapi yang terutama penting kita sadari adalah agar antara ruh dan jasad itu terbina atau terjalin rasa kasih dan sayang. Ruh mengasihi dan menyayangi jasad, karena ia menyadari tanpa keberadaan jasad, ruh bukanlah mahluk unggulan Tuhan. Dia menjadi unggul justru karena dia diberi pakaian berupa jasad.

Sebaliknya, jasad juga harus menyayangi ruh, dalam pengertian dia harus ikhlas dan rela dimanfaatkan oleh ruh untuk mencari karunia Allah di bumi Tuhan yang luas. Jasad harus ikhlas dan rela dijadikan kendaraan bagi ruh dalam menempuh perjalanan spiritual sehingga dia mencapai derajat atau maqom ruhaniah yang tinggi hingga menjadi kekasih Allah, yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah.

Rasa kasih sayang secara hakikat adalah adanya hubungan timbal balik, sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruh melalui interaksi positif. Maka secara hakikat, jasad atau jasmani manusia inilah yang sesungguhnya dinamai Padang Arofah, atau padang pengenalan antara jasad/jasmani dengan ruhani. Di sini pula ruh melakukan wukuf, dari kata waqof, yaitu beristirahat sejenak dari sejak matahari berada di puncak ketinggiannya sampai terbenamnya. Hal ini menegaskan, bahwa kehidupan manusia di dunia ini adalah satu etape perjalanan menuju Sang Khaliq yang waktunya amat pendek. Manusia perlu memahami hal ini, dengan mengeksplorasi potensi jasmaniah dan ruhaniahnya secara optimal.

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S. al-Zariyat/51:49)

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S. al-Zariyat/51:49)

Ayat ini mengisyaratkan segala sesuatu selain Tuhan diciptakan berpasang-pasangan (za­jain). Bukan hanya manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina, tetapi juga makhluk-makhluk lain seperti makhluk kosmologis. Di balik konsep berpasang-pasangan ini ada dua kualitas yang bekerja secara aktif, yaitu kualitas kejantanan/ketegaran (masculinity/struggling) dan kualitas kelembutan/kepengasihan (femininity/nurturing).

Al-Qur'an seringkali menyebutkan fenomena kosmologi yang berpasang-pasangan, seperti langit dan bumi (al-sama'; wa al-ardl), malam dan siang (al-lail wa al-nahar) dan musim dingin dan musim panas (al-syita' wa al-shaif), dunia dan akhirat (al-dunya wa al-akhirah, syurga dan neraka (al-jannah wa al-nar), dan alam gaib dan alam nyata ('alam al-ghaib wa al-syahadah). Yang lebih istimewa lagi ialah penyebutan pasangan-pasangan makrokosmos ini mempunyai jumlah yang sama di dalam Al-Qur'an, meskipun masa turunnya Al-Qur'an berlangsung sekitar 23 tahun.

Kemahaesaan Tuhan dapat difahami melalui kenyataan bahwa seluruh makhluk Tuhan diciptakan berpasang-pasangan dan hanya Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya Dia yang tidak punya dan memang tidak butuh pasangan. Dia Yang Esa, baik dalam Esensi maupun dalam Sifat. Karena itu, Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan segala sesuatu, "Tiada sesuatu yang menyerupai-Nya" (Q.S.Al-Syura/42:11).

Pada makhluk biologis, setiap pasangan mempunyai hubungan fungsional, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Masing-masing pasangan mempunyai ketergantungan satu sama lain, demikian pula makhluk-makhluk alam lainnya.

Untuk menyatakan adanya siang diperlukan adanya malam, sulit dimengerti adanya sinar terang tanpa adanya kegelapan. Musim dingin baru dapat dimengerti setelah adanya musim panas. Seseorang tidak akan pernah memahami arti penting sebuah tanpa adanya penyakit. Pengecualian terjadi dalam hal Pencipta (Al-Khaliq) dan ciptaan-Nya (al-makhluq). Makhluk sangat tergantung kepada Khaliqnya, tetapi tidak sebaliknya.

Tuhan tidak masuk dalam konsep azwaj, karena Tuhan Maha Esa dan Mandiri, karena itu Ia sebut Allahu Ahad, bukan Allahu Wahid. Sebaliknya seluruh makhluk-Nya tidak ada yang mandiri secara paripurna, mereka saling memerlukan satu sama lain. Eksistensi setiap makhluk ditentukan oleh hubungan horizontal dengan pasangannya dan secara vertikal oleh Khaliq-nya. Termasuk manusia dan binatang, keutuhannya terletak pada hubungan interaktif dengan pasangannya, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina.

Dalam dunia tasawuf, konsep azwaj dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, Tuhan Yang Maha Mandiri di mana segala sesuatu tergantung kepada-Nya (Allahu Ahad, Allah al-Shamad), dianggap sebagai Zat Yang Wajib Wujudnya (wajib al- wujud) sementara makhluk-Nya disebut zat yang munkin wujudnya (mumkin al-wujud), karena keberadaannya sangat tergantung kepada kehendak-Nya dan keutuhan dan kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya. Dicontohkan langit dan bumi; langit memberi atau melimpahkan (al-faidl) dan bumi menerima atau menampung (istifadlah). Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya hubungan antara laki-laki dan perempuan, atau menurut Sachico Murata hubungan antara keduanya dapat diterangkan melalui hubungan yang dan ying dalam Taoisme.

Ibn 'Arabi juga memberikan pernyataan yang hampir sama. Langit diumpamakan dengan suami dan bumi sebagai isteri. Jika langit menurunkan airnya kepada bumi maka akan lahirlah berbagai makhluk biologis seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula halnya manusia, penurunan air (sperma) masuk ke dalam rahim perempuan, menyebabkan tumbuhnya janin dalam rahim dan selanjutnya lahir sebagai manusia.

Dan Allah menjadikan bumi bagaikan isteri dan langit bagaikan suami. Langit memberikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui "hubungan suami-isteri". Ketika pemberian itu berlangsung, bumi mengeluarkan seluruh tingkatan benda-benda yang dilahirkan yang disembunyikan Tuhan di dalamnya. Konsep perkawinan dalam pandangan sufi lebih luas daripada sekedar apa yang dirumuskan dalam Fikih Perkawinan (fiqh al-nikah). Kalangan sufi mengenal Perkawinan Makrokosmos (Macrocosmic Marriage), meliputi perkawinan hubungan- hubungan tertentu antara benda atau sifat yang berpasangan, seperti hujan mengawini tanah.

Komposisi ideal kualitas maskulin-feminin tergambar di balik 99 nama-Nya dalam al-asma` al-husna, misalnya kualitas maskulin antara lain: Al-Jabbar (Yang Maha Pemaksa), Al-Qawiy (Yang Maha Kuat), Al-Muntaqim (Y.M. Penyiksa), Al-Qahhar (Y.M.Penghukum), Al-Qahhar (Y.M. Menguasai); dan kualitas feminine antara lain: Al-Rahim (Yang Maha Penyayang), Al-Lathif (Y.M.Lembut), Al-Gafur (Y.M.Pengampun), Al-Muhaimin (Y.M.Pemelihara), dan Al-Hakim (Y.M.Bijaksana).

Orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat maskulin Tuhan, akan didominasi rasa: aktif, progresif, kuasa, independen, jauh, dan dominan (struggling). Sedangkan orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat feminin Tuhan akan didominasi rasa: pasrah, berserah diri, dekat, kasih dan pemelihara (nurturing).

Orang yang lebih menekankan aspek maskulinitas Tuhan, ia seringkali membayangkan Tuhan transenden, jauh, dan lebih memilih untuk menakuti-Nya. Sedangkan orang yang lebih menekankan aspek feminin Tuhan, ia membayangkan Tuhan immanen, dekat, dan lebih memilih untuk mencintai-Nya.

Sikap yang pertama akan memberikan efek seseorang harus hati-hati dalam berbuat, karena Tuhan itu Maha Adil (al-'Adl). Sedangkan yang kedua akan memberikan efek optimisme dalam menjalani kehidupan, karena Tuhan itu Maha Pemaaf (al-'Afuw).

Pendekatan pertama bisa melahirkan sikap formalisme beragama, karena membayangkan Tuhan Maha Penuh Perhitungan (al-Hasib). Sedangkan yang kedua bisa melahirkan sikap permissifisme dan sembrono, karena membayangkan Tuhan Maha Penyayang (al-Rahim) dan Maha Pengampun (al-Gafur).

Yang ideal ialah seperti sabda Rasulullah: Takhallaqu bi akhlaq Allah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah), yaitu kombinasi ideal antara kualitas maskulin dan kualitas feminin, seperti yang dicontohkan Rasulullah sebagai uswah al-Hasanah, yang "akhlaknya adalah Al-Qur'an".

Nama-nama indah Tuhan (al-asma` al-Husna) yang berjumlah 99 menurut hitungan ulama sunni, dapat dirangkai secara kronologis begitu indah ibarat seuntai tasbih. Dimulai dengan lafdh al-Jalalah, Allah, dengan angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka kesempurnaan, disusul dengan al-Rahman (Yang Maha Pengasih), al-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan seterusnya sampai ke angka 99, al-Shabr (Yang Maha Sabar) dan kembali lagi ke angka nol, Allah (lafdh al- jalalah), atau kembali ke pembatas besar dalam untaian tasbih. Simbol angka nol berupa lingkaran atau titik, menggambarkan siklus kehidupan bagaikan sebuah cyrcle, bermula dan berakhir pada satu titik, atau menurut istilah Al- Qur`an: inna li Allah wa inna ilaih raji'un (kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya).

Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap bisa eksis kembali dan tidak perlu kehilangan semangat hidup. Bukankah di antara 99 nama itu sifat-sifat kasih, feminin Tuhan lebih dominan?

Allah bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin ("The Father God"), tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin ("The Mother God"). Ada kecenderungan di dalam masyarakat sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (al-Kabir), Maha Perkasa (al-'Aziz), dan Maha Pembalas/Pendendam (al-Muntaqim), bukannya menonjolkan sifat-sifat femininitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahim), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha Pema'af (al-'Afuw). Akibatnya, sepertinya Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti ketimbang dicintai. Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan "The Father God", yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggling, bukannya dengan "The Mother God", yang mengabil ciri berserah diri, kasih, dekat, dan nurturing. Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan, seperti tercermin di dalam al-Asma` al-Husna, dan sebagaimana juga dipraktekkan Rasulullah saw.

Allah swt, adalah Tuhan segala sesuatu, Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk-Nya. Ia bagaikan setitik air di tengah samudra. Bumi tempat ia hidup bagaikan sebuah titik di antara jutaan planet dalam galaksi bimasakti. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala`if al-ardl), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah swt, lebih menonjol sebagai Tuhan manusia dari pada Tuhan makrokosmos, karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar amban daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan. Sepantasnya kita menyadari bahwa konsep al-asma` al-husna adalah konsep alam semesta. Tuhan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia, atau Tuhan tidak hanya kepada manusia, sebagaimana kesan dan pemahaman sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhir adalah "SIM" untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu bersumber dari Tuhan Yang Maha Bijaksana (al-Hakim), yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.

Manusia yang paling berkualitas di mata Allah Swt ialah yang paling bertaqwa (Q.S. Al-Hujurat/49:13), yaitu "orang-orang yang menafkahkan (hartanya), naik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) oraang" (Q.S.Ali Imran/3:133). Dari ayat ini difahami bahwa kualitas sejati di sisih Allah swt ialah orang-orang yang mengaktifkan komposisi kualitas maskulin dan feminin. Sikap seperti inilah yang akan melahirkan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian di dalam masyarakat.

Dalam menyukseskan kedua misi manusia di bumi, yaitu sebagai khalifah dan sebagai hamba ('abid), komposisi kedua sifat ini juga sangat penting. Kualitas maskulin sangat membantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai khalifah dan kualitas feminin sangat membantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai abid. Namun, separasi ini tidak berarti pemisahan secara total, karena misi kekhalifahan hanya dijalankan dengan kualitas maskulin, maka kemungkinan besar yang akan terjadi ialah disrupsi dan kerusakan lingkungan alam dan lingkungan sosial, serta ketimpangan ekologis. Sebaliknya, mengeliminir kualitas maskulin dalam menjalankan misi manusia sebagai 'abid, maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah fatalisme keagamaan, yakni kesalehan individual yang tidak membawa dampak ke dalam kehidupan sosial.

Idealnya, jika komposisi kedua kualitas ini menyatu dalam diri setiap orang, maka yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah Thayyibah wa Rab al-Gafur) di tingkat mikrokosmos. Wallahu A'lam.


Untuk penciptaan, Tuhan menjelma menjadi tiga Visnu. Yang pertama, Maha Visnu, atau Karanodakasayi Visnu, menciptakan jumlah keseluruhan energi material, yang dikenal sebagai Maha tattva. Dia berbaring di air Mahat tatva, yang disebut Lautan Penyebab. Ketika itu, alam semesta yang tak terhitung jumlahnya keluar dari pori-pori badanNya bersamaan dengan nafasNya.
Dalam setiap alam semesta, Maha Visnu masuk sebagai Garbhodakasayi Visnu dan berbaring di atas ular Sesa. Dari pusar Garbhodakasayi Visnu tumbuh setangkai bunga padma, tempat lahir Brahma, penguasa satu alam semesta. Dari Garbhodakasayi Visnu muncul Ksirodakasayi Visnu, yang masuk ke dalam setiap atom di tiap alam semesta, yang dikenal sebagai Roh Utama atau Paramatma. Dia bersemayam di hati semua mahluk. Semua avatara Tuhan di alam semesta ini bersumber dariNya.

Jutaan tahun silam, Tuhan muncul berwujud seekor ikan dan memperingatkan raja Satyavrata tentang banjir besar yang akan terjadi. Setelah menerima petunjuk tersebut. Raja Satyavrata bermeditasi kepada Tuhan selam tujuh hari. Lalu, awan besar mulai mencurahkan hujan deras yang membuat laut meluap dan membanjiri dunia. Ketika dunia dibanjiri air peleburan, sebuah perahu istimewa muncul secara misterius di hadapan raja Satyavrata dan ketujuh Rsi. Saat itu muncul pula seekor ikan mas besar bertanduk (Matsya Avatara). Mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah disabdakan sebelumnya, sang raja menambatkan perahu ke tanduk ikan itu, menggunakan naga Vasuki sebagai tali. (Masih dalam proses awal pembentukan bumi atau Zaman es)

Suatu ketika para dewa dan asura ingin mengocok lautan susu untuk mendapatkan Amrta, dan dipilihlah gunung Mandara sebagai tongkat pengocok. Tetapi, karya agung itu memerlukan landasan mahaluas sebagai penyangga gunung besar tersebut. Tuhan berinkarnasi menjadi Kura-kura Mahabesar (Kurma Avatara), yang berenang di lautan susu. Ketika para dewa dan asura memutar gunung Mnadara yang bersandar di atas punggung Tuhan Kurma, gerakan berputar gunung itu dirasa nikmat oleh Tuhan seolah-olah menggaruk badanNya. Untuk menyeimbangkan gunung Mandara, Tuhan sendiri juga muncul di puncak gunung itu. (Pembagian alam menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah, dimana Kurma Avatara disimbulkan inti bumi yang sangat panas sedangkan Naga Basuki diibaratkan kerak bumi yang terus bergerak yang dapat menimbulkan gempa bumi)

Hanya dalam keadaan tertentu planet-planet bisa mengambang di angkasa. Begitu keadaan ini terganggu, planet-planet bisa jatuh ke lautan Garbhodaka di dasar alam semesta. Dahulu kala, semua asura yang di pimpin Hiranyaksa, menciptakan gangguan terhadap mengambangnya bumi sehingga bumi terlepas dari orbitnya dan jatuh ke lautan Garbhodaka. Saat itu, Tuhan mengambil wujud Babi Hutan Mahabesar (Varaha Avatara) dengan taring besar, menggangkat planet bumi. Saat Tuhan menggangkat bumi, Hiranyaksa menghalangi, maka terjadi pertempuran hebat. Akhirnya Hiranyaksa terbunuh dan para dewa serta penduduk planet-planet memuji atas kegiatan Tuhan ini. (Karena bumi masih dalam proses pembentukan, maka planet bumi dalam tata surya ditempatkan pada posisi nomer tiga dari matahari, agar bisa dijadikan rumah semua mahluk hidup)

Kesaktian yang diperoleh raksasa Hiranyakasipu hampir sebanding dengan kekekalan sehingga dia yakin tidak akan terbunuh oleh manusia atau dewa, atau dengan senjata apa pun, tidak akan mati di siang hari maupun malam, tidak mati di atas tanah, di laut, ataupun di udara. Untuk melindungi Prahlada dari ancaman Hiranyakasipu, ayahnya sendiri, Tuhan berinkarnasi sebagai Narasinga. Pada petang hari (bukan siang ataupun malam) Sri Narasinga membunuh Hiranyakasipu di atas pengakuanNya, yang bukan di atas tanah, air, atau angkasa, dan merobek perut Hiranyakasipu dengan kuku-kukuNya, yang tidak dibayangkan oleh Hiranyakasipu sebagai senjata. (Zaman batu)

Maharaja Bali, raja kaum asura, sangat murah hati kepada para brahmana. Karena itu, Tuhan menyamar menjadi seorang Brahmana-Cebol (Vamana Avatara), dan meminta tanah kepadanya seluas tiga langkah kaki. Ketika Sri Vamana meminta sedekah remeh seperti itu. Maharaja Bali langsung setuju, Sri Vamana melangkahi semua wilayah alam semesta dengan langkah pertama dan kedua lalu bertanya di mana langkah ketigaNya bisa ditempatkan. Maharaja Bali dengan senang hati menerima langkah ketiga Tuhan di atas kepalanya, sehingga bukannya kehilangan segalanya justru ia terbekati. (Lahirnya ras cebol di dunia atau manusia lahir dengan tubuh pendek)

Ketika para pemimpin pemerintahan, yakni para ksatriya, menyimpang dari jalan kebenaran, Tuhan dalam inkarnasiNya sebagai Resi Parasurama membinasakan raja-raja yang tidak diinginkan tersebut, yang merupakan duri bagi dunia. Demikianlah Parasurama membinasakan para ksatriya duapuluh satu kali dengan kapakNya. (Lahirnya 4 warna dengan istilah catur warna/golongan)

Tuhan Yang Maha Esa lahir di keluarga Maharaja Iksvaku dan dikenal sebagai Ramacandra. Dalam situasi sulit, Sri Ramacandra diperintahkan oleh ayahNya, Maharaja Dasaratha, untuk tinggal di hutan. Sebagai putra teladan, Sri Ramacandra melaksanakan perintah tersebut, bahkan saat akan dinobatkan sebagai Raja Ayodhya. Salah satu adikNya, Laksamana, ingin ikut bersamaNya, demikian pula permaisuriNya, Sita. Maka kemudian mereka memasuki hutan hutan Dandakaranya, untuk tinggal di sana selama 14 tahun. Selama di hutan, terjadi perselisihan antara Sri Ramacandra dan Ravana, karena Ravana menculik Sita. Perselisihan berakhir dengan binasanya Ravana yang sangat perkasa itu. (Lahirnya cerita Ramayana yang ditulis oleh Rsi Walmiki ini mengandung filosofi bagaimana membedakan baik dan jelek, serta hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, dan manusia dengan alam sekitarnya)

Tuhan dalam inkarnasiNya sebagai Srila Vyasadeva mempertimbangkan bahwa kesusastraan Veda yang telah disusunnya akan sangat sulit dimengerti oleh orang-orang yang kurang cerdas dan berusia singkat, sehingga Vyasadeva membagi pohon pengetahuan Veda menjadi berbagai cabang. Vyasadeva membagi Veda yang tunggal menjadi empat dan menyederhanakannya. Kemudian beliau menyusun Mahabharata. Tetapi tetap beliau belum puas. Ketika Vyasadeva sedang menerapi kekurangannya. Narada tiba di asramanya di tepi sungai Sarasvati. Narada menganjurkan agar Vyasadeva menyusun Srimad-Bhagavatam yang secara khusus menguraikan tentang kegiatan-kegiatan rohani Tuhan Yang Maha Esa. (Munculnya cerita Mahabharata dan awal dari zaman kaliyuga)

Ketika dunia terbebani oleh pasukan tempur raja-raja ateis. Tuhan turun bersama perbanyakanNya untuk mengurangi beban dunia. Tuhan datang dalam wujud asliNya, Sri Krishna, bersama Sri Balarama di keluarga Vrisni (dinasti Yadu). Untuk meluaskan keagungan rohaniNya, Krishna bertindak dengan sangat luar biasa. Sri Krishna bukanlah satu inkarnasi Tuhan, melainkan sosok Tuhan asli, dan Balarama adalah maniifestasi pertamaNya. Krishna bukanlah avatara, melainkan avatari, sumber semua avatara. Tentu Krishna tidak perlu datang secara pribadi hanya untuk menyingkirkan beban dunia. Krishna turun untuk memperlihatkan kegiatan-kegiatan permainan rohaniNya untuk menyenangkan hati para penyembah murniNya. (Lahirnya dua individu yang berbeda dalam satu jiwa dan juga lahirnya agama kristen di dunia)

Sang Buddha muncul di propinsi Gaya (Bihar) sebagai putra Anjana, dan Dia mengajarkan paham anti kekerasan (ahimsa) dan bahkan mengkritik korban hewan yang disetujui Veda. Ketika Buddha muncul. secara keseluruhan para ateis merajalela. Mereka memilih makan daging daripada segala jenis makanan lain. Dengan mengatasnamakan korban suci Veda, praktis setiap tempat dijadikan rumah jagal, dan penyembelihan hewan dilakukan tanpa batas. Buddha mengelabui para ateis. Walau mereka tidak yakin kepada Tuhan, mereka yakin sepenuhnya kepada sang Buddha. Sang Buddha sendiri adalah inkarnasi Tuhan. Demikianlah orang yang tidak beriman menjadi percaya kepada Tuhan dalam wujud sang Buddha. Itulah karunia sang Buddha. (Lahirnya agama Buddha di dunia)

Pada zaman kali yuga ini tidak akan ada lagi topik-topik tentang Tuhan, bahkan di kediaman orang-orang yang disebut-sebut orang suci dan terhormat. Kekuasaan pemerintahan akan beralih ke tangan menteri-menteri yang dipilih dari golongan rendah. Tidak akan ada lagi yang diketahui tentang cara-cara korban suci, bahkan yang berupa kata-kata yang diucapkan. Dalam keadaan masyarakat manusia yang demikian merosot, Tuhan akan menjelma sebagai Kalki, penghukum tertinggi, dan membunuh semua iblis tanpa ampun. (Lahirnya agama Islam di dunia)


Pada akhirnya di zaman ini (Kali yuga), Tuhan Yang Maha Esa yang melampaui segala sifat material berhubungan secara tidak langsung dengan sifat alam material, yaitu nafsu, kebaikan, dan kebodohan. Untuk penciptaan, pemelihara dan peleburan dunia material, Tuhan mengambil wujud-wujud berdasarkan sifat tersebut, yaitu Brahma, Visnu, dan Siva. Visnu adalah penguasa sifat kebaikan (sattvam), Brahma sifat nafsu (rajas), Siva sifat kebodohan (tamas). Penciptaan dimungkinkan melalui sifat kebaikan yang dikuasai oleh Visnu, dijalankan oleh sifat nafsu yang dikuasai Brahma, dan ketika perlu dihancurkan, Dewa Siva melaksanakannya melalui tarian penghancurannya (tandava-nritya). (Bumi mengalami kehancuran atau Independent day/ kiamat)

Tuhan,
Kiranya kasih sayang ini suci
Maka
Kuharap semailah ia dengan bibit rindu

Tuhan,
Kalaulah rindu ini benar
Bajailah dengan titis cinta
Pagarkan ia dari titik-titik noda

Tuhan,
Sekiranya cinta ini kudus
Hiasilah ia dengan jambangan pengorbanan
Harumkan ia dengan wangian keikhlasan

Tuhan,
Kurniakan aku cintaMu
Dan cinta orang yang menyintaiMu
Serta cinta orang yang boleh menghampirkan
Aku padaMu
Jadikan cinta itu
Cinta yang boleh aku dambakan


Dalam "Encyclopaedie der Philosophischen Wissenchaffen", Hegel berkata: "Pikiran yang pasti benarnya ialah pikiran yang dipanjatkan ke arah budi, dan terus langsung menuju Tuhan." Manusia mempunyai kesanggupan mencipta dan menjelmakan rasa pengakuan adanya Maha Pencipta dan lenyaplah rasa ingkar terhadap perintah-perintahNya. Nabi Muhammad saw besabda:

"Perebedaan antara kita dan mereka (yang ingkar itu) ialah meninggalkan shalatnya."
(H.R. Ahmad dan Muslim)

Selanjutnya perlu diuraikan juga dengan singkat mengenai shalat yang dilakukan tanpa kekhusyuan. Shalat yang dilakukan tanpa kekhusyuan ialah asal bershalat saja, dengan mengabaikan hikmah-hikmah yang terkandung dan tersembunyi di dalamnya. Shalat yang demikian ini merupakan shalat teori dan pasti tidak akan menernui alam Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu tidak sedikit orang melakukan shalat akan tetapi perbuatan-perbuatan dan tindakannya sama saja dengan mereka yang tidak melakukan shalat, bahkan mereka lebih merugikan bagi sesarna hidup. Sebab mereka memiliki antene yang rendah sekali, tentu saja tak dapat menerima suara dari alam Tuhan ( gestord atau feeding) . Sebagaimana juga tidak mungkin alat radio menerima siaran-siaran dari penyiarnya dengan suara yang sama, tetapi ada juga yang dapat menerima suara yang samar-samar yang rendah, terang, bersih feeding dan ada pula yang tinggi.

Demikian juga dalarn melakukan shalatnya tergantung tinggi rendahnya angka getaran dari bion-bion ruhaninya, kalau rendah tentu tidak mungkin shalatnya itu memperoleh ke khusyuan. Yang demikian itu disebabkan getaran bion-bion ruhaninya masih terikat kepada alam kebendaan (stoffcllijk gebeid), ruhaninya masih terbelenggu dengan badan jasmaninya, sehingga ingatannya tidak dapat langsung berhubungan dengan alam Tuhan, masih meraba-raba mencari Tuhan akan menimbulkan keragu-raguan yang menyebabkan pula timbuInya bermacam-macam aliran di dalam agarna, sehingga sukar sekali memiliki kesadaran yang sempurna

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Celakalah mereka yang melakukan shalatnya dengan kelalaian (tanpa kekhusyuan)." (QS. 107:4)

Dalain uraian ini sudah dapat dibayangkan, betapa jauh perbedaan antara shalat teori dengan shalat praktek, shalat khusyu dan yang tidak khusyu. Dalarn kitab "De Bhagawad Gita" oleb Ir. J.A. Blok hai.9 disebutkan "Het is de weg van opgeven en daardoor overstijgen van eigen benepen gaal en doardoor zich wezenlijker terugvindenin den onbegrensden iniverseelen aether. " (Satu jalan untuk mengabaikan diri sendiri yang sempit itu dan meninggalkan dirinya menuju kerajaan yang dahsyat, berisikan hakikat dan keabadian, rnelalaikan jasmani menjumpai diri yang sejati dalam alam semesta yang tak terbatas dan tak bertepi).

Maknanya seolah-olah menguatkan bahwa dengan shalat yang khusvu akan menemukan alam hakikat, bakal menimbulkan keyakinan bahwa semuanya ini dalam keadaan nisbi atau relatif. Jika semuanya dalam relatif, tentu wajib adanya het absolut , Yang Maha Mutlak, yaitu Allah swt, atau dengan perkataan lain adanva kenyataan-kenyataan yang lahir bergantung kepada Yang Maha Mutlak, sesuatu yang bersifat relatif hanya merupakan bagian ( fragment ) dari Yang Maha Mutlak. Menurut teori tentang kenisbian ( relativitet ) yang dikemukakan Einstein, dinyatakan bahwa semua kenyataan yang dapat disaksikan adalah relatif sernata-mata, masIh bergantung kepada adanya yang lain, Yang Maha Mutlak, tidak akan berhasil apabila hanya mengenal fragmentnya saja. Berhubungan dengan itu intelektual sejati pasti tidak akan puas dengan kenyataan-kenyataan yang lahir saja. Di samping yang lahir rnempergunakan juga alat berpikirnya ke arah di luar rasio ( hot abstarhorend verstand ).

Tak ubahnya shalat yang tanpa kekhusyuan dapat diibaratkan shalat yang nisbi, bukan yang hakiki, yang tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatannya terhadap rnasyarakat, negara dan bangsa tentu hanya dapat dipertanggung-jawabkan kepada yang insbi pula bukan kepada Yang Maha Mutlak, Allah swt. Pertanggung-jawaban yang demikian bukan yang hakiki, Meski perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduknya diakui oleh masyarakat tidak berarti sudah dianggap benar dihadapan Yang Maha Mutlak, Allah swt. Tetapi dengan membiasakan shalat khusyu yang dihadapkan secara langsung dan di bawah pengoreksian Yang Maha Mutlak, pasti menebarkan amalan yang luhur dan mulia yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Mutlak dan pasti benar dan baik adanya. Mewujudkan kebahagiaan kepada Urnmat manusia dan negaranya.

Begitu pula shalat yang benar. Bermula dari percikan wudlu, rnenyucikan niat hati, bentangan sajadah, satu persatu menguraikan makna, berkhidmat dialog munajat menguak tirai antara ma'bud dengan al-Khaliq , akhirnya rneraih keselamatan dan rahmat. Shalat tersebut dilakukan dengan tatanan yang tertib, tumaninah, meredah diri penuh tawadu di hadapan kebesaran Rabbi, kemudian biasnya tercermin dalam pola pikir, perangai dan perilaku sehari-hiari.

Dalam buku Asrar as Shalah oleh Imam Al-Ghazali disebutkan bahwa untuk mencapai tingkatan shalat yang benar dan khusyu antara lain dengan hudhurul qalb , kehadiran hati menemui Tuhannya, Tafahhum, pemahaman yang dalam, satu-satu makna kalam- kalamNya, Ta'zhim, penghormatan dan penghambaan yang dalam, Haibah , takut yang disertai pengagungan serta Roja' , sebagai tak puas-puas bergantung harap dan Haya' , rasa malu yang tak terhingga. Tatkala kita rukuk misalnya, adalah pertanda tunduk merendah dan tawaddu' kepadaNya, sebab hanya Dia yang teragung di antara semua yang agung. Begitupula di kala sujud, seolah sebagai realita ketundukkan dan kepasrahan, melebihi segalanya, hanya kepada Allah swt seraya berucap:

"Suhhaana rabbiyal 'ala " "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi, "

Sebenarnva makna-makna yang diserap bertautan dengan daya pemahaman dan tingkatannya sesuai pula dengan kadar ilmu dan kejernihan hatinya.