Dalam "Encyclopaedie der Philosophischen Wissenchaffen", Hegel berkata: "Pikiran yang pasti benarnya ialah pikiran yang dipanjatkan ke arah budi, dan terus langsung menuju Tuhan." Manusia mempunyai kesanggupan mencipta dan menjelmakan rasa pengakuan adanya Maha Pencipta dan lenyaplah rasa ingkar terhadap perintah-perintahNya. Nabi Muhammad saw besabda:

"Perebedaan antara kita dan mereka (yang ingkar itu) ialah meninggalkan shalatnya."
(H.R. Ahmad dan Muslim)

Selanjutnya perlu diuraikan juga dengan singkat mengenai shalat yang dilakukan tanpa kekhusyuan. Shalat yang dilakukan tanpa kekhusyuan ialah asal bershalat saja, dengan mengabaikan hikmah-hikmah yang terkandung dan tersembunyi di dalamnya. Shalat yang demikian ini merupakan shalat teori dan pasti tidak akan menernui alam Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu tidak sedikit orang melakukan shalat akan tetapi perbuatan-perbuatan dan tindakannya sama saja dengan mereka yang tidak melakukan shalat, bahkan mereka lebih merugikan bagi sesarna hidup. Sebab mereka memiliki antene yang rendah sekali, tentu saja tak dapat menerima suara dari alam Tuhan ( gestord atau feeding) . Sebagaimana juga tidak mungkin alat radio menerima siaran-siaran dari penyiarnya dengan suara yang sama, tetapi ada juga yang dapat menerima suara yang samar-samar yang rendah, terang, bersih feeding dan ada pula yang tinggi.

Demikian juga dalarn melakukan shalatnya tergantung tinggi rendahnya angka getaran dari bion-bion ruhaninya, kalau rendah tentu tidak mungkin shalatnya itu memperoleh ke khusyuan. Yang demikian itu disebabkan getaran bion-bion ruhaninya masih terikat kepada alam kebendaan (stoffcllijk gebeid), ruhaninya masih terbelenggu dengan badan jasmaninya, sehingga ingatannya tidak dapat langsung berhubungan dengan alam Tuhan, masih meraba-raba mencari Tuhan akan menimbulkan keragu-raguan yang menyebabkan pula timbuInya bermacam-macam aliran di dalam agarna, sehingga sukar sekali memiliki kesadaran yang sempurna

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Celakalah mereka yang melakukan shalatnya dengan kelalaian (tanpa kekhusyuan)." (QS. 107:4)

Dalain uraian ini sudah dapat dibayangkan, betapa jauh perbedaan antara shalat teori dengan shalat praktek, shalat khusyu dan yang tidak khusyu. Dalarn kitab "De Bhagawad Gita" oleb Ir. J.A. Blok hai.9 disebutkan "Het is de weg van opgeven en daardoor overstijgen van eigen benepen gaal en doardoor zich wezenlijker terugvindenin den onbegrensden iniverseelen aether. " (Satu jalan untuk mengabaikan diri sendiri yang sempit itu dan meninggalkan dirinya menuju kerajaan yang dahsyat, berisikan hakikat dan keabadian, rnelalaikan jasmani menjumpai diri yang sejati dalam alam semesta yang tak terbatas dan tak bertepi).

Maknanya seolah-olah menguatkan bahwa dengan shalat yang khusvu akan menemukan alam hakikat, bakal menimbulkan keyakinan bahwa semuanya ini dalam keadaan nisbi atau relatif. Jika semuanya dalam relatif, tentu wajib adanya het absolut , Yang Maha Mutlak, yaitu Allah swt, atau dengan perkataan lain adanva kenyataan-kenyataan yang lahir bergantung kepada Yang Maha Mutlak, sesuatu yang bersifat relatif hanya merupakan bagian ( fragment ) dari Yang Maha Mutlak. Menurut teori tentang kenisbian ( relativitet ) yang dikemukakan Einstein, dinyatakan bahwa semua kenyataan yang dapat disaksikan adalah relatif sernata-mata, masIh bergantung kepada adanya yang lain, Yang Maha Mutlak, tidak akan berhasil apabila hanya mengenal fragmentnya saja. Berhubungan dengan itu intelektual sejati pasti tidak akan puas dengan kenyataan-kenyataan yang lahir saja. Di samping yang lahir rnempergunakan juga alat berpikirnya ke arah di luar rasio ( hot abstarhorend verstand ).

Tak ubahnya shalat yang tanpa kekhusyuan dapat diibaratkan shalat yang nisbi, bukan yang hakiki, yang tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatannya terhadap rnasyarakat, negara dan bangsa tentu hanya dapat dipertanggung-jawabkan kepada yang insbi pula bukan kepada Yang Maha Mutlak, Allah swt. Pertanggung-jawaban yang demikian bukan yang hakiki, Meski perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduknya diakui oleh masyarakat tidak berarti sudah dianggap benar dihadapan Yang Maha Mutlak, Allah swt. Tetapi dengan membiasakan shalat khusyu yang dihadapkan secara langsung dan di bawah pengoreksian Yang Maha Mutlak, pasti menebarkan amalan yang luhur dan mulia yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Mutlak dan pasti benar dan baik adanya. Mewujudkan kebahagiaan kepada Urnmat manusia dan negaranya.

Begitu pula shalat yang benar. Bermula dari percikan wudlu, rnenyucikan niat hati, bentangan sajadah, satu persatu menguraikan makna, berkhidmat dialog munajat menguak tirai antara ma'bud dengan al-Khaliq , akhirnya rneraih keselamatan dan rahmat. Shalat tersebut dilakukan dengan tatanan yang tertib, tumaninah, meredah diri penuh tawadu di hadapan kebesaran Rabbi, kemudian biasnya tercermin dalam pola pikir, perangai dan perilaku sehari-hiari.

Dalam buku Asrar as Shalah oleh Imam Al-Ghazali disebutkan bahwa untuk mencapai tingkatan shalat yang benar dan khusyu antara lain dengan hudhurul qalb , kehadiran hati menemui Tuhannya, Tafahhum, pemahaman yang dalam, satu-satu makna kalam- kalamNya, Ta'zhim, penghormatan dan penghambaan yang dalam, Haibah , takut yang disertai pengagungan serta Roja' , sebagai tak puas-puas bergantung harap dan Haya' , rasa malu yang tak terhingga. Tatkala kita rukuk misalnya, adalah pertanda tunduk merendah dan tawaddu' kepadaNya, sebab hanya Dia yang teragung di antara semua yang agung. Begitupula di kala sujud, seolah sebagai realita ketundukkan dan kepasrahan, melebihi segalanya, hanya kepada Allah swt seraya berucap:

"Suhhaana rabbiyal 'ala " "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi, "

Sebenarnva makna-makna yang diserap bertautan dengan daya pemahaman dan tingkatannya sesuai pula dengan kadar ilmu dan kejernihan hatinya.