Baiklah. Mungkin, aku telah dikutuk Tuhanmu. Dijanjikan penghuni kekal di kerak neraka oleh dewa-dewamu. Tapi, aku berani bersumpah atas apapun yang ada di dunia ini, aku telah menemukan Surgaku sendiri. Di suatu tempat, pada satu waktu. Dalam perjalanan sunyi, yang tak satupun keluarga, sahabat, kekasih sudi menemani.


Aku tiba-tiba teringat kata yang diperas dari otak sosok atheis yang bernama Nietzshe, "dunia harus dibentuk dalam citra kalian, oleh kehendak kalian, dan oleh cinta kalian." Aku telah membayangkan dan membentuk surgaku sendiri, dan akan membakarnya kelak, hingga hanya abu dan bara yang bisa kautemukan.

Urutan aspal enggan terputus, selalu tersambung. Dijahit satu garis putih yang kadang putus-putus. Disamping, kulihat papan-papan segi empat, dengan bidang laiknya ketupat, memberi ikon-ikon yang hampir semuanya lebih menyerupai symbol. Daun berguguran, seperti ungkapan sedih bagi seseorang yang selalu ditinggal pergi kekasih.

Dalam perjalanan yang kulakukan entah keberapa. Aku selalu siap untuk menjadi orang asing dimanapun. Dan berharap akan disambut kekasih ketika pulang dengan pelukannya yang hangat. Akan tetapi, aku hanya bisa menemukan bayang-bayangku di punggungnya. Aku yang selalu meninggalkan orang-orang, kini harus mulai membiasakan diri menjadi orang yang selalu ditinggal pergi.

Saat ini, di mana-mana musim rontok, langit cerah dan lepas di tengah hari. Aku berdiam sendiri di bawah pohon tua dengan akar bagaikan anak-anak panah yang mencoba meraih jantungku. Tempat itu bernama "alas tuo" yang kalau dialihkan bahasakan ke Indonesia, menjadi Hutan Tua.

Aku merasakan seakan waktu menua bersama ilalang disana. Berputar secepat gasing dunia, dan tiba-tiba saja kusadari warna daunnya sudah menguning. Hampir di semua tempat, dalam dimensi waktu berbeda, aku selalu mencari mitos manusia unggul yang berbaur dengan orang-orang asing.

"Tuhan adalah sebuah pikiran. Tetapi aku ingin pikiran kalian lebih kuat dari kehendak ciptaan kalian."

Aku berhenti di sebuah pesisir pantai di daerah Pantura. Banyak sekali orang-orang dengan otot tubuh yang kekar, warna kulit menghitam karena terpanggang. Kemudian aku berfikir, itukah manusia-manusia unggul? Di sebuah trotoar yang bersih, dibawah, ujung laut dengan lidah ombak menjilat pelan. dibaliknya tertanam berbagai produk makanan, minuman, kaca, bekas bungkus sabun, bungkus rokok sebuah laut tanpa pantai dengan sampah menjadi bibir yang enggan aku cumbu. Laut pun kini tercemar limbah kapitalis.

Matari. Indah, namun kadang menjadi musuh dalam perjalanan. Coba saja, berkendara melawan arus cahaya. Jika tidak memakai kaca hitam, maka ujung mata hanya akan menangkap warna putih belaka. Angin yang membawaku pulang.

Biarlah kehendak kalian yang akan membawanya pada kebenaran. Bahwa segalanya akan diubah menjadi penalaran manusiawi, keterbuktian manusiawi, dan kenyataan manusiawi! Kalian harus mengikuti logika-logika kalian sendiri hingga saat-saat terakhir.

Hujan turun, aku berlindung di sebuah toko kelontong kecil di sebuah kota kecamatan terpencil. Di kaki gunung Lawu. Bulan November, memberikan hujan bagi pohon-pohon pinus yang setia dengan angin utara. Aku bertahan dengan jalan yang sama sekali aku tak tahu akan bermuara dimana. Namun, aku yakin, jalan itu akan mengantarku menyusuri lereng Lawu.

Aku terhenti di sebuah lembah, dengan sungai jernih mengalir di tengah. Tampak padi menghijau, dan segera menguning ketika evolusi bumi berjalan sesuai garis edarnya. Di atas, di mana-mana, mendung dengan gerimis kecil membuat wajahku berembun. Daun-daun bergoyang dengan angin kecil bersemilir melewati jari-jari kaki yang basah. Tetes air berjatuh lembut dipermukaan rumput yang subur. Aku ingat, aku pernah bernazar mengambil sejumput awan dan memberikannya padamu.

Tetapi baiklah, akan kubuka hatiku seluruhnya pada kalian, sahabat-sahabatku: jika memang Tuhan itu ada, bagaimana aku bisa diam saja untuk tidak menjadi Tuhan! Jadi, tidak ada tuhan-tuhan itu.

Sang Zarathustra, menjadi teman di setiap roda motor yang berputar ke arah Timur. Lalu belok ke Kiri, oleh sebuah benda kotak berwarna biru muda dengan tanda arah tanpa menyebutkan tujuan. Memang akulah yang menarik kesimpulan itu. Tetapi kini kesimpulan itulah yang kini menarikku.

Jadilah manusia yang kreatif, manusia pencipta yang mempunyai kegembiraan dan kemauan. Dengan kehendak, membuat manusia merdeka. Kehendakku selalu datang kepadaku sebagai "pembebasku". Terus terang aku tidak terlalu yakin bagaimana kata-kata dapat membantu kita menangkap sekilas energi jagad raya yang miterius dan merupakan sumber kehidupan ini.
Sebuah sore yang basah. Sudut yang terpatri dalam pikiran tentang nirwana. Musik hip hop mengumbar nada-nada social. Di sebuah kotak tiga kali empat, menjadi ruang lamunan serta angan. Di luar angin yang mengabarkan kerinduan dari seseorang, makin bertiup kencang. Hingga selalu bisa menjadi wangi di setiap celah kamar.

Aku hanya ingin terpisah dan menyendiri. Aku ingin menemukan jalanku sendiri. Aku berhenti di sebuah pertigaan daerah Wonogiri. Di sampingku berdiri warung soto, begitu sepi. Beberapa orang, tampak menikmati gurihnya kuah soto ditemani secangkir kopi kental hitam. Aku terhenti dalam sebuah medan kata-kata yang dilesapkan Zarathustra dalam jagad raya.
Ia yang mencari sendiri konon akan mudah tersesat. Sebab masih tetap nurani sama yang membuat kalian berduka. Namun, cahaya redup penghabisan dari nurani itu masih bersinar dalam kesakitanmu. Aku hanya ingin menempuh jalan kesakitanku, yakni jalan menuju diriku sendiri. Menemukan sendiri dalam setiap tempat yang aku pernah singgahi.

Aku termenung di alas tuo begitu lama. Di sebelah tubuhku, bayang-bayang pohon semakin memanjang. Sudut dunia menggelap di sisi sebelah barat, begitu pula sebelah hatiku yang hitam
oleh rindu tentang cinta.

Hari-hari terkontaminasi oleh ego manusia. Mengerikan betul rasanya bersama dengan sang hakim dan sang penegak hukumnya sendiri. Bagaikan bintang yang dilempar ke ruang hampa ke dalam kesunyian yang tidak berkesudahan dan membekukan nafas. Kaki-kakiku kini seperti akar, menjalar menembus perut bumi yang begitu dingin. Di tempat itulah, dimana surga sudah aku bayangkan begitu sempurna, kini aku harus berhenti. Sebelum pagi menjelang, aku menlanjutkan perjalanan dan menemukan surga lain di tempat yang berbeda.