Kodrat

Ilmu pengetahuan pun terikat kodrat ini. Fisika modern terdiri atas dua teori raksasa paling fundamental, Teori Relativitas dan Teori Kuantum. Teori Relativitas dicetuskan Einstein pada 1905 hingga mencapai bentuk sempurna pada 1916. Pada tahun 1960-an teori ini baru diterapkan secara luas dalam bidang astronomi dan kosmologi. Dan pada dekade tahun 1980-an, Stephen Hawking menulis kesimpulan berbagai riset kosmologinya dalam sebuah buku populer berjudul A Brief History of Time. Dalam bagian terakhir buku tersebut ditulis: “Bagaimanapun juga, jika kita memang menemukan suatu teori yang lengkap, pada waktunya teori itu harus dapat dipahami pada garis besarnya oleh semua orang, tidak hanya beberapa ilmuwan saja. Lalu kita semua, filsuf, ilmuwan, dan kaum awam, akan mampu mengambil bagian dalam diskusi mengenai mengapa kita dan jagat raya ini ada. Jika kita mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, itulah kemenangan penghabisan pikiran manusia—karena lalu kita akan tahu pikiran Tuhan”.*

Teori Kuantum pertama kali dicetuskan Ernst Max Planck pada tahun 1900. Teori ini mencapai bentuk sempurna pada tahun 1927, ketika Niels Bohr menuliskan berbagai penemuan yang berkaitan dengan teori tersebut dalam sebuah kesimpulan bernama Aliran Kopenhagen. Aliran Kopenhagen memuat salah satu prinsip paling kontroversial, Prinsip Ketidakpastian. Pada konferensi fisika tahunan pada 1927 di Brussel, Belgia, yang lebih terkenal dengan nama Konferensi Solway, terjadi perseteruan sengit antara Bohr dan Einstein. Einstein tidak mau menerima bahwa pengukuran saintifik bersifat probabilistik, seperti yang dikemukakan ketidakpastian. Suatu pernyataan paling terkenal yang diucapkan Einstein bahwa “Tuhan tidak bermain dadu atas alam semesta”.**

Identik

Suatu keidentikan yang terjadi bahwa kedua teori tersebut berakhir dengan memuat sebuah nama: Tuhan. Sedangkan bahkan subjek sains itu sendiri sangat asing terhadap nama tersebut. Meskipun kemunafikan telah dengan sengaja menutupi kebutuhan akal akan Tuhan, namun hasilnya tetap saja akan kembali kepada-Nya. Secara konseptual, Teori Kuantum dan Teori Relativitas memang tidak mengakui adanya Tuhan, namun para pencetusnya sadar betul akan eksistensi Tuhan dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Jadi, mengapa sains tidak bisa mengangkat segi ilmiah Tuhan? Ini mungkin satu kealpaan sains yang paling besar.

Rasa ketuhanan telah merasuk ke dalam inti manusia yang terdalam sejak kelahirannya, bahkan sebelum itu. Allah menyatakan bahwa pengakuan terhadap Tuhan sudah ada dalam diri manusia sejak kejadiannya, sejak pertama kali manusia diciptakan. Hal ini tersurat jelas dalam ayat: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (keturunan Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. 7:172)”.

Ketika manusia masih dalam bentuk “roh”, Allah telah menguji keyakinannya terhadap diriNya. Ternyata seluruhnya memberikan jawaban yang membenarkan, sebuah jawaban yang mencerminkan adanya pemahaman tentang Tuhan. Jadi, mengenal Tuhan adalah fitrah atau bawaan alami semua orang. Sebagai contoh, ketika dalam keadaan terdesak atau ada yang mengancam jiwanya, manusia akan secara spontan menyebut nama Tuhan. Ketika konsep ketuhanan telah rusak akibat berlalunya masa dan kebodohan manusia sehingga berubah menjadi animisme, dinamisme, politeisme, dan bahkan ateisme, maka akan ada seorang pembaharu yang dipilih Tuhan untuk meluruskannya. Itulah rasul.

Minat

Manakala Adam turun ke bumi ini, ia menemukan tiga hal yang sangat menarik minatnya, yakni kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Adam menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang gemerlapan, kembang yang mekar, dan sebagainya. Ditemukannya pula kebaikan pada angin sepoi yang menyegarkan di saat ia merasa gerah kepanasan atau pada air yang sejuk di kala ia merasa kehausan. Kemudian ditemukannya pula kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri. Gabungan ketiga hal tersebut melahirkan kesucian. Manusia, yang memiliki naluri ingin tahu yang luar biasa, akan berusaha untuk mendapatkan apakah yang paling indah, benar, dan baik? Apakah yang paling suci? Jiwa dan akalnya akan mengantarkannya bertemu dengan Yang Mahasuci dan ketika itu ia akan berusaha untuk berhubungan dengan Tuhan.

Cerita serupa terjadi pada Ibrahim, bapaknya tiga agama besar di bumi ini: Yahudi, Kristen, dan Islam. Sebelum ia diangkat sebagai rasul, ia sering merenung di atas perbukitan di sekitar tempat tinggalnya. Ia merasa resah dengan sebuah persoalan yang selalu menghimpitnya tentang siapa yang patut disembah. Manakala ia melihat bintang-gemintang yang bertaburan di langit malam, ia pun menduga bahwa mungkin bintang-bintang yang indah itu yang patut disembah. Namun manakala pagi datang dan bintang-bintang tersebut menghilang, Ibrahim muda pun berkata: “Tuhan tidak akan pernah menghilang”. Kemudian tatkala ia menemukan bulan yang lebih besar dan lebih terang, dan tentunya lebih indah, ia pun menduga kembali bahwa mungkin saja bulan yang patut disembah. Namun, lagi-lagi ketika pagi mulai menyingsing dan sinar bulan pun tenggelam, ia berkata: “Tuhan tidak mungkin tenggelam”. Lalu ia mendapatkan matahari yang jauh lebih besar dan terang, dan sekali lagi ia pun menduga bahwa mungkin mataharilah yang patut disembah. Namun, sekali lagi ketika matahari terbenam di ufuk barat, ia pun kembali berkata: “Tuhan tidak boleh tenggelam”. Begitulah bahwa pada asalnya Tuhan mutlak dibutuhkan oleh naluri manusiawi.

Bayangkan sebuah mobil yang sedang melaju di jalan raya, bagaimana bisa besi-besi beroda itu bergerak sangat cepat? Bayangkan pesawat terbang yang sedang terbang di awang-awang, bagaimana mungkin logam yang beratnya ratusan ton bisa mengambang di angkasa? Mereka semua pasti dibuat oleh insinyur-insinyur yang cerdas dan kreatif. Lihatlah sebuah meja yang indah, pasti ada tukang kayu yang membuatnya. Beberapa orang menganalogikan keberadaan semesta seperti barang-barang tersebut, dimana diyakini bahwa semesta ini pasti memiliki perancang atau pencipta yang sangat kreatif, yakni Tuhan yang Mahacerdas.

Topik ini akan menjadi sangat menarik apabila naluri ilmiah manusia terlibat. Selama ini kita telah membuat “masuk akal” fenomena-fenomena alam yang semula terlihat tidak “masuk akal”. Jadi, bisakah kita menjadikan Tuhan “masuk akal”?