Alam adalah kata ganti untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Tuhan menciptakan langit, bumi, dan manusia. Tuhanlah yang mengedarkan surya dan rembulan, menghidupkan laksa mahluk dan benda, yang semuanya berlangsung dengan begitu wajar dan alami! Tiada keakuan, tiada ikatan batin, tiada pamrih dan kemunafikan, bahkan tidak meninggalkan bekas-jejak apapun! Tuhan Yang Maha Pengasih adalah Sang Penguasa langit, bumi, manusia, dan laksa mahluk. Sekalipun menjadi Empunya alam semesta, namun Tuhan tidak dominatif! Alam semesta beserta segala bentuk kehidupan tetap berjalan secara wajar dan alami.



Mata kita dapat melihat, telinga mendengar, hidung membaui, lidah mengecap, mulut berbicara, tangan dan kaki bekerja dengan baik, badan merasakan panas-dingin, otak berpikir, jantung berdetak, lambung mencerna, darah bersirkulasi, lever menetralisir racun, dan sebagainya, semua ini tampak begitu alamiah, seolah tidak ada yang mengatur. Namun di balik ini semua, Tuhanlah yang bekerja! Sungguh agung dan luar biasa. Inilah manifestasi kebesaran kasih dan rahmat Tuhan yang tak terhingga.



Rahmat kasih Tuhan yang tak terhingga berpancar dan terukir jelas dalam alam semeseta Tuhan tidak berwujud rupa, tak terlihat, tak tersentuh, tak bersuara, tak terdengar, tak beraroma, tak terbaui, serta melampaui batas pikiran, pengetahuan, dan imajinasi. Namun melalui karya-Nya: surya, rembulan, bintang, gunung, laut, sungai, hingga ke sekuntum bunga, rumput, pohon, pasir, batu dan sebagainya, Tuhan menunjukkan kemaha-beradaan-Nya. Dimana pun kita berada, sekalipun di ujung langit atau di dasar laut, dipuncak gunung atau di tepi pantai, di padang pasir atau di padang rumput, di atas bumi atau di ruang angkasa, di sudut mana pun dalam semesta raya ini, kita tetap berada dalam rangkulan Tuhan, Sang Maha Pengasih.



Kalau kita menerima siraman cahaya surya dan rembulan, mreasakan hembusan angin, keteduhan awan dan rintikan hujan; atau di kala kita menikmati seseuap demi sesuap nasi, sayuran segar, palawija, buah-buahan dan rempah-rempah; atau di kala kita menghirup udara yang sejuk dan meneguk air segar, teh, kopi, jus, atau madu, pernahkah kita menyadari betapa semua ini adalah karunia-Nya? Umumnya kita menganggap semua kejadian ini sebagai sebuah kewajaran, namun di balik kewajaran inilah, tersimpan kasih dan perhatian Tuhan yang tak berkesudahan!



Langit biru yang luas tanpa batas, gumpalan awan dengan sejuta bentuk, sinar fajar yang penuh gairah, pelangi yang indah, kilauan senja yang lembut, dan bintang yang gemerlap di malam hari, adalah curahan kasih Tuhan terhadap kita. Bunyi riak air, rinikan hujan, desiran angin, kicauan burung, kokok ayam, adalah bisikan kasih dan sapaan-Nya yang lembut kepada kita.



Ketika kita menatap langit, bumi, manusia, dan laksa mahluk, atau kala kita melihat matahari, bulan, bintang, gunung, laut, sungai, atau hanya sekuntum bunga, rumput, pohon, pasir, batu, dan lainnya, kita dapat merasakan betapa Tuhan maha berada, Tuhan menyertaiku senantiasa. Tuhan ada disekitarku. Tuhan ada dalm hatiku. Aku tidak epi, aku tidak sendirian...



Angin yang sepoi-sepoi membelai wajah, bunga harum semerbak, air yang segar, buah yang manis, sayur yang lezat, rasa nyaman di kedua kaki yang terendam di air sungai yang dingin, udara gunung yang segar... adalah siraman kasih sayang Tuhan yang penuh kehangatan.



Unggas yang terbang di angkasa, hewan yang berlarian di daratan, maupun ikan yang hidup dalam air adalah sebuah uraian dan ungkapan Tuhan yang sempurna tentang kemuliaan, kesamarataan, dan keagungan hidup semua mahluk. Mereka adalah saudara-saudara kita, sehingga pada hakekatnya, kita sama sekali tidak kesepian dalam perjalanan hidup ini.



Berbaring di padang rumput, bersantai di bawah pohon rindang, mendaki ke puncak gunung, bermain air di pinggir sungai, atau berenang di laut, di manapun kita menginjakkan kaki, kita tetap berada dalam pelukan kasih sayang Tuhan. Bukankah kita sungguh bahagia dan diberkati?



Bergelegarnya halilintar, suara hujan lebat, dan gemuruh angin yang kuat, gelombang ombak yang mencekam, adalah suara Tuhan yang terus memanggil kita untuk cepat sadar, bangkit dari kesesatan, dan bertobat.



Mengasihi alam membuat kita menjadi semakin mengasihi Tuhan, Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab melalui alam dengan segala aspeknya, kita dapat merasakan rahmat, budi, dan kasih Tuhan yang tiada tara! Kita dapat merasakan betapa Tuhan senantiasa ada dalam hatiku dan menyertai hidupku. Dan alangkah indah, berlimpah, dan bahagianya hidup ini, sebab begitu banyak saudara alam yang menemani perjalanan hidupku. Akhir kata, kita dapat menyimpulkan bahwa memahami alam membuat kita memahami kehidupan kita sendiri. Memahami alam akan membuat kita mamahami Nurani. Lebih lanjut membuat kita memahami pribadi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ternyata, Tuhan, alam dan kita adalah satu kesatuan yang bulat! Sebab itu, mengasihi alam berarti mengasihi, menghormati, dan bersyukur pada langit, bumi, manusia, dan laksa benda lainnya. Mengasihi alam adalah menghormati dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih

Bulan Ramadhan adalah bulan keramat bagi Umat Islam dan Bangsa Indonesia serta bagi Seluruh Umat Manusia di dunia. Bagaimana tidak, bahwa di Bulan Ramadhan itulah ada sebuah malam yang mana jika kita melakukan ibadah maka nilai pahalanya sama dengan beribadah seribu bulan, itulah Malam Lailatul Qadar. Di bulan Ramadhan pula (17 Ramadhan), kitab suci AL Qur’an diturunkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam.

Puasa adalah ibadah wajib di Bulan Ramadhan bagi umat Islam. Dengan berpuasa maka akan mengekang hawa nafsu, dengan mengekang nafsu maka menambah pahala dan mengurangi dosa sebab inilah bulan jihad akbar Umat Islam. Jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsunya. Jihad melawan hawa nafsu lebih utama ketimbang berperang melawan orang kafir. Bulan ini pula bulan pengampunan bagi dosa-dosa manusia (bagi mereka yang serius memohon ampunan-Nya) untuk menuju gerbang Idul Fitri (gerbang kesucian diri). Pahala amalan di bulan ini dilipat gandakan dan dosa-dosa dihapuskan.



Di bulan Ramadhan pula Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yakni pada 9 Ramadhan 1365 H. Di bulan Ramadhan pula seluruh umat manusia di dunia mendapatkan berkah luar biasa. Mereka-mereka, para pedagang baik Muslim dan non Muslim, yang menjajakan makanan buka puasa maupun pakaian menyambut lebaran (Idul Fitri) selalu laku keras dan meraup keuntungan luar biasa. Itulah keramatnya bulan Ramadhan. Berkah Ramadhan untuk semuanya. Itulah Rahmatan Lil’alamin.





Dulu, para mujtahid menggali hukum Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadis, lalu meramunya dengan usul fikih sehingga menjadi butiran-butiran hukum furû’ yang sudah matang. Hasil racikan mereka menjadi rujukan generasi selanjutnya dalam memutuskan berbagai persoalan.

Hukum-hukum furû’iyah (cabang) yang telah dicetuskan oleh para mujtahid ini sudah bercabang sedemikian rupa dan bertebaran di dalam karya-karya ulama dengan klasifikasi yang disesuaikan dengan tatanan masyarakat, mulai dari fikih yang berkenaan dengan hukum ibadah, transaksi, pernikahan sampai hukum pidana. Kajian fikih menjadi begitu tebal dan menguras usia untuk bisa menamatkan seluruh referensinya.

Syekh Yasin bin Isa al-Fadani menyatakan, jika kita hanya mempelajari hukum-hukum yang sudah matang dalam kitab-kitab fikih, maka berapa waktu yang kita butuhkan, berapa lama kita bisa bertahan, berapa kitab yang harus kita hafal, dan seberapa kuat memori otak mampu menampungnya?

Maka, solusi untuk bisa memecahkan persoalan ini perlu dimunculkan, agar generasi selanjutnya tidak menerima kegamangan itu. Salah satu solusi tersebut adalah mengetahui subtansi dan titik temu dari berbagai hukum yang sudah matang. Bila subtansi sudah kena, maka setidaknya hal itu bisa menjadi bekal dalam mengkorelasikan satu persolan ke dalam persoalan lain.

Mengenai hal ini, ulama fikih pasca mujtahidin membuat rumusan-rumusan tertentu yang kemudian dikenal dengan istilah kaidah fikih. Beragam persoalan furû dalam fikih yang tak terhitung jumlahnya dapat disatukan dalam sebuah formulasi melalui titik temu illat. Kesamaan illat itu diketahui melalui hasil penelitian dari nash yang menjadi prinsip syariat. Al-Qarafi mengatakan, “Barangsiapa yang menguasai ilmu fikih disertai kaidah-kaidahnya, maka ia tidak perlu lagi untuk menghafal hukum-hukum juz’i (parsial). Sebab, semuanya telah terangkum dalam kaidah-kaidah kulli (umum)”

Sebetulnya, rumusan-rumusan itu telah dilakukan secara acak sejak periode awal era mujtahidin. Para mujtahid menyisipkan prinsip-prinsip pokok dari berbagai hukum yang sudah matang dalam fikih yang mereka karang. Penyisipan-penyisipan itulah yang nantinya menjadi cikal bakal munculnya ilmu kaidah fikih. Rumusan-rumusan yang masih acak itu dapat kita jumpai, misalnya, dalam kitab al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (150-204 H.) dan al-Kharraj karya Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah (113-182 H.).

Sekedar contoh, dalam kitab al-Umm Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa keringanan (rukhshah) hanya berlaku sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Setelah itu, beliau menyisipkan filosofi hukum, “Diperbolehkan dalam kondisi darurat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam kondisi normal.”.

Dalam kitab al-Kharraj Abu Yusuf menulis prinsip kepemimpinan dengan bunyi, “Kebijakan seorang pemimpin atas kepentingan rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.” Filosofi itu direkomendasikan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dengan bunyi, “Seorang pemimpin tidak diperbolehkan memungut sesuatu apapun dari tangan orang lain, kecuali dengan pertimbangan yang benar dan baik.”

Rumusan-rumusan filosofis yang belum terangkum itu, mulai diperhatikan dan dirangkum pada Abad Keempat Hijriah. Konon, yang mula-mula melakukan hal itu adalah seorang ulama Hanafiyah, Abu Thahir ad-Dabbas (w.340). Ia adalah seorang ulama masyhur yang konon buta.

Al-Harawi, salah satu ulama mazhab Syafi’i, bercerita bahwa ad-Dabbas berupaya merangkum dan menghafal beragam persoalan dalam mazhab Hanafi ke dalam 17 kaidah. Setiap malam ad-Dabbas menghafal kaidah tersebut di sebuah masjid. Rupanya, aktivitas ad-Dabbas ini didengar oleh beberapa ulama Hanafiyah di kota Harrah (Khurasan/Afghanistan), sehingga mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk membuktikan kabar itu sekaligus mempelajari kaidah ad-Dabbas.

Di suatu malam, utusan tersebut berangkat ke masjid yang biasa ditempati ad-Dabbas dan bercampur baur dengan jamaah yang lain. Setelah para jamaah meninggalkan masjid dan masjid sudah sepi, ad-Dabbas mengunci pintu setelah menyelesaikan zikirnya. Utusan tersebut memperhatikan ad-Dabbas dan secara diam-diam ia duduk di tikar tempat duduk ad-Dabbas. Ad-Dabbas tidak menyadari hal itu, karena memang beliau tidak dapat melihat (buta).

Setelah keadaan betul-betul sepi, Ad-Dabbas mulai menghafalkan kaidah-kaidahnya. Ia tidak menyadari bahwa ada orang yang menyadap apa yang ia katakan. Sang utusan menguping, mendengarkan dan berusaha untuk menghafal setiap kaidah-kaidah yang keluar dari bibir ad-Dabbas. Sayangnya, saat ad-Dabbas sampai pada bacaan kaidah ketujuh, utusan tadi batuk karena tenggorokannya sangat gatal. Seketika, ad-Dabbas menghentikan hafalannya dan secara reflek memukul orang itu dan mengusirnya dari masjid. Setelah kejadian itu, ad-Dabbas tidak pernah lagi melakukan aktivitas tersebut. Walaupun demikian, bagi sang utusan, ketujuh kaidah yang telah didapatnya cukup bisa menggembirakan sahabat-sahabatnya yang penasaran akan kaidah ad-Dabbas. Pada akhirnya, kaidah-kaidah ad-Dabbas dapat dibukukan oleh sahabat karibnya, Abul Hasan al-Karkhi (w.340 H.).

Perumusan prinsip-prinsip dasar fikih yang dilakukan oleh kalangan mazhab Hanafi ini, rupanya didengar oleh ulama-ulama mazhab Syafi’i. Termotivasi dari itu, Qadhi Husain (w.462 H.) mencoba untuk merumuskan hukum-hukum dalam mazhab Syafi’i, ke dalam empat kaidah dasar, yaitu,

1. Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena keraguan,
2. [kondisi] sulit menyebabkan hukum menjadi mudah,
3. Kemudaratan harus dihilangkan, dan
4. Adat/kebiasaan bisa menjadi rujukan hukum.

Pancingan Qadhi Husain ini menarik motivasi generasi selanjutnya, sehingga banyak bermunculan kitab-kitab kaidah fikih dalam mazhab Syafi’i. Bahkan, pada periode mutaakhirin, keempat kaidah di atas dilengkapi menjadi lima dengan ditambah kaidah al-Umûr bil-Maqâshid (segala hal tergantung niatnya).

Keempat kaidah Qadhi Husain ini mengalami pengembangan dan perubahan redaksional. Salah satu ulama yang dianggap berperan dalam pengembangan dan perubahan redaksional tersebut adalah Imam as-Suyuthi melalui karya monumentalnya al-Asybâh wan-Nazhâ’ir. Melalui kitab ini, Imam as-Suyuthi banyak berjasa mewariskan ilmu kaidah fikih terhadap pakar-pakar ilmu keislaman pada masa berikutnya.

(Dikutip dari beberapa sumber)
Tulisan Terkait Lainnya

* Nasehat Rasulullah SAW menyambut bulan Ramadhan (Hari Ke-15)
* Kufur Akibat Meremehkan Waliyullah
* Isra Mi’raj, Teori Einstein & Kebenaran Firman Allah Swt
* SEJARAH KOMUNITAS YAHUDI DI INDONESIA
* Nasehat Rasulullah Menyambut Bulan Ramadhan (Hari Ke-4)